Minggu, 05 Februari 2012

Mati itu Pulang, Pulang itu Indah dan Menyenangkan

By : Rijal Muhammad

Judul tulisan ini adalah analogi antara kematian dengan pulang. Mudah saja kita membayangkan saat kita selesai bekerja atau sudah lama tidak berjumpa dengan keluarga anak-anak dan istri kita, betapa indah dan menyenangkannya pulang menjumpai mereka dan kembali merasakan kebahagian dan kehangatan bersama mereka. Ada penyemangat bagi kita sehingga saat kita akan pulang selalu ada alasan rindu kepada mereka.

Karena pulang, maka tidak lengkap kalau kita tidak membawa oleh-oleh sebagai bukti bahwa kita pernah pergi meninggalkan keluarga. Maka demikian juga, mati akan menjadi soal serius kalau kita tidak membawa oleh-oleh berupa amal kebaikan yang menjadi wasilah bagi Allah untuk menurunkan rahmat dan ridho-Nya sehingga pulangnya kita menuju Allah benar-benar menjadi sesuatu yang membahagiakan. Karenanya, bekal yang harus kita persiapkan menuju "pulang yang hakiki" itu adalah taqwa.

Dalam QS. Almulk :2, Allah menjelaskan pada kita bahwa kematian dan kehidupan itu merupakan wahana ujian bagi kita untuk melihat kualitas ihsan kita dalam beramal. Rupanya kata ihsan yang dipilih Allah dalam mengukur kualitas kehidupan kita sebelum mati. Memang ada orang yang tidak berbuat sesuatu setalah dia mendapatkan perlakukan baik dari orang lain. Ada juga yang berbuat sesuatu sebatas membalas jasa bahwa dia pernah diperlakukan baik dengan orang lain, namun ada juga orang yang tidak pernah tidak berbuat baik kepada orang lain, baik ia pernah berbuat baik kepadanya ataupun tidak karena motivasi berbuatnya melebihi dari sekedar sisi kemanusiaan. Tipe yang terakhir inilah yang termasuk kedalam kualitas ihsan.

Berbuat ihsan kepada orang lain mestinya diimplementasikan oleh kita karena Allah juga memperlakukan ihsan kepada kita. Allah senantiasa memberikan kebaikan kepada kita meskipun diantara kita tidak tahu berterima kasih atas semua kebaikan itu. Maka wajar jika Dia menyatakan bahwa yang terbaik diantara kita adalah yang kualitas amalnya paling ihsan.

Mati itu ibarat pintu yang setiap orang akan memasukinya. Tidak usah terlalu takut mati karena mati mau atau tidak mau, siap atau tidak siap tetap akan menjemput kita. Sama halnya juga kita tidak usah terlalu berani mati, karena apapun usahanya menuju mati kalau saatnya belum tiba tak akan berhasil. Bukan takut atau beraninya yang penting tapi persiapan dan bekal menuju matilah yang setiap insan mesti memikirkannya. Karenanya penting bagi kita memahami pernyataan Agama tentang semua yang berkaitan dengan kematian.

Dalam tulisan ini akan dipaparkan satu hadits Nabi yang shohih dan sangat masyhur yaitu bahwa, "orang yang mati akan terputus amalnya kecuali 3 hal ; shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak sholeh yang senantiasa mendoakan orang tuanya.

Hadits diatas memang sudah kita ma'lum. Namun dalam tulisan ini patut kiranya diungkap juga dari sisi kebahasaannya karena terkait dengan makna yang dikandung. Pertama, kata "Ibnu Adam" yang sering diartikan manusia. Pertanyaannya adalah yang disebut ibnu Adam atau manusia itu berarti mencakup juga non-Muslim bahkan hingga yang kafir, karena bagaimanapun semua manusia berasal darinya. Yang bisa diterangkan dari sisi kebahasaannya adalah bahwa kata "ibnu" merupakan isim nakirah (bersifat luas dan umum) digabung dengan kata "Adam" yang merupakan isim makrifat (bersifat khusus dan terbatas) sehingga dalam kaidah kebahasaan bahwa jika isim nakirah diidhafahkan -disandarkan- pada isim makrifat maka kata tersebut terhukumi makrifat atau bersifat khusus. Oleh karena itu, penyebutan ibnu Adam merujuk kepada keturunan nabi Adam yang muslim dan beriman.

Kedua, penyebutan kata shadaqah juga menggunakan bentuk isim nakirah sehingga shadaqah yang dimaksud tidak hanya tertentu kepada uang yang dishadaqahkan itu. Bukankah tersenyum kepada orang lain adalah shadaqah, bukankah membuang duri yang bisa menghalangi jalannya seseorang juga bisa menjadi shadaqah bahkan kesombongan yang dicounter dengan kesombongan pula dengan tujuan mengobati kesombongan pertama juga bisa menjadi shadaqah. Walhasil banyak ragam shadaqah yang bisa kita sumbangsihkan demi membina dan mengejawantahkan sifat jujur dengan bersedakah itu, karena sesuai dengan dasar kata shadaqah itu yang seakar dengan kata shidiq yang berarti kejujuran.

Ketiga, kata ilmu pada hadits tersebut juga menggunakan isim nakirah. Itu berarti tidak hanya tertuju pada jenis ilmu tertentu tapi mencakup semua ilmu yang tentu saja kita sepakati bahwa ilmu itu bisa membawa manfaat bagi banyak hal dan siapapun. Memang dalam sebuah hadits dinyatakan bahwa orang yang menunjukkan pada seseorang tentang suatu kebaikan maka ia seolah orang yang melakukan kebaikan itu. Dalam keadaan seseorang tidak memiliki harta untuk disedekahkan maka dengan ilmu yang dia miliki menjadi "harta" juga yang ia bisa sedekahkan atau ajarkan karena zakatnya ilmu adalah mengajarkannya.

Keempat, dalam hadits yang sama lagi-lagi penyebutan kata "walad" yang berarti anak menggunakan isim nakirah sehingga asumsinya adalah tidak hanya terbatas pada anak kandung saja yang bisa mendoakan orang tuanya namun orang lainpun yang bisa disebut anak bisa mendoakannya. Anak memang secara faktanya terbagi menjadi dua. Ada anak hakiki yaitu yang benar-benar terlahir dari orang tuanya atau anak kita sendiri dan ada juga anak ghairu hakiki yang bukan terlahir dari kita namun sudah kita anggap menjadi anak. Bukankah siswa atau santri yang belajar pada kita misalnya bisa kita anggap anak. Bukankah anak-anak yatim yang kita urus juga bisa kita anggap anak. Bukankah ada anak angkat atau anak orang lain yang kita nafkahi juga bisa disebut anak. Walhasil mereka adalah aset bagi kita untuk mendulang keikhlasan doanya kelak saat kita telah pulang menghadap-Nya.

Kelima, masih terkait dengan doa anak-anak yang sholeh, redaksi hadits tersebut menggunakan kata "yad'u" -selalu berdo'a- yang merupakan fiil mdhori'. penggunaan fiil mudhori' memiliki makna kontinyuitas sehingga doa anak-anak yang sholeh itu bukannya hanya diberikan pada hari pertama, ketiga, ketujuh, keempat belas, keseratus apalagi keseribu hari setelah meninggalnya saja, tapi diharapkan doa itu berkelanjutan terus kapanpun dipanjatkan yang tiada henti-hentinya. Inilah harapan bagi orang tua yang memilki anak sholeh yang selalu dan senantiasa mendoakannya agar senantiasa diampuni segala dosa dan kesalahnnya, diterima segala amal ibadahnya dan Allah meridhoinya dengan menurunkan rahmat kepadanya sehingga ia ditempatkan yang layak disisi-Nya.

Inilah beberapa pengecualian terkait dengan amal yang senantiasa mengalir pahalanya, disaat Allah swt menyatakan bahwa untuk manusia tak lain hanyalah amal yang diusahakannya. Artinya bahwa pada saat manusia meninggal maka yang dianggap adalah hanya yang ia pernah lakukan dan usahakan saat hidup. Ini juga sekaligus menjadi penegas bahwa usaha dan amal apapun dengan dalih mentransfer pahalanya bagi orang yang sudah meninggal tidak diperkenankan karena memang kesempatan orang yang meninggal itu sudah habis. Hanya saja, yang bisa dilakukan oleh orang yang hidup untuk orang yang telah mati adalah mendoakannya, memohonkannya ampun, memohonkannya agar Allah menghapus segala dosa dan kesalahannya, memohonkannya agar diberikan rahmat sehingga Allah -dengan penuh harap dari kita- akan memberikan kebahagiaan untuknya.

Inilah salah satu yang perlu kita tahu dalam memahami wawasan dan pengetahuan-pengetahuan menuju "pulang hakiki" karena semua orang akan pulang yang menyenangkan itu. Kenapa menyenangkan?, karena ruh itu berasal dari Allah swt yang telah mengalami perjanjian dengan-Nya bahwa Allah adalah sebagai Tuhannya. Kemudian pada saat terlahir kedunia mestinya ia menjaga perjanjian itu dengan sebaik-baiknya sehingga pada saat ruh itu kembali kepada-Nya masih tetap kepatuah terhadap Tuhannya. Maka ruh yang kembali dengan mempertahankan perjanjiannya itu akan merasa senang dan bahagia karena ia bisa sampai kepada Penciptanya dengan baik.

Sebagai pelajaran bagi kita semua, bahwa menjaga dan membawa diri ini untuk selalu istiqamah berada dijalan-Nya bukan sebuah perkara mudah namun perlu perjuangan untuk mempertahankannya. Tidak hanya itu, tuntutan untuk tidak melakukan sesuatu yang tdak benarpun sedemikian kuat sehingga yang dikerjakan oleh diri kita adalah hanya kebaikan atau fitrah yang telah Allah tentukan. Harapanya perbuatan baik itulah yang akan menjadi bekal bagi kita untuk menjumpai sang Khaliq yang telah menciptakan dan akan mengembalikan kita semua hanya kepada-Nya.

0 komentar:

Posting Komentar