Rabu, 14 September 2011

Rahmat, Maghfirah dan Itqun Minannaar

By : Rijal Muhammad

Kita baru saja merayakan idul fitri 1432 H setelah selama sebulan menjalankan ibadah ramadhan. Sirkulasi tahunan yang dirancang Allah swt bagi kemaslahatan ummat manusia agar senantiasa berada pada fitrahnya. Permaslahan fitrah memang sangat mendasar bagi kehidupan ummat tidak hanya didunia namun yang lebih penting lagi setelah ia memasuki alam akhirat. Mengapa demikian? karena manusia - secara lintas batas- pada awalnya awalnya berada dalam keadaan yang fitrah sehingga ketika ia hidup harus mempertahankan nilai-nilai fitrahnya itu agar ketika kembali menuju Tuhan-nya sama ketika ia diciptakan pada awalnya.

Bukan tentang nilai-nilai fitrah yang ingin dikemukakan dalam tulisan ini, namun hanya berkenaan dengan istilah serta moment-moment yang sangat lazim disebut pada bulan ramadhan yaitu tentang pembagian ramadhan menjadi 3bagian yaitu 10 hari pertama berisi rahmat, sepuluh hari kedua berisi maghfirah dan sepuluh hari yang ketiga berisi itqun minannnar (pembebasan dari neraka). Hal ini memang sering disebut sementara orang sebagai hadits, tapi banyak juga ulama menyatakan bahwa ini hanyalah qaulny ulama tidak sampai kepada hadits Nabi. Terlepas dari itu, penulis ingin memngangkat substansinya karena sedikitpun tak ada yang menyalahi ajaran agama Islam.

Rahmat, sering kita menyebutnya dengan makna kasih sayang. Ia juga diartikan perasaan iba kepada makhluk sehingga kita ingin membuat mahkluk itu meraih kebahagiannya kalau memang ia merasakan masalah atau penderitaan. Rahmat memang salah satu sifat Allah yang Maha Agung yang akan dilimpahkan kepada siapa yang Ia kehendaki (liyudkhlilallahu fi rahmatihi man yasyaa).Rahmat adalah yang menjadi wasilah bagi seseorang untuk bisa meraih kebahagiaan atau kemenangan, tidak hanya didunia tapi yang lebih penting lagi di akhirat kelak. Lihat saja misalnya keberhasilan dan kesuksesan Nabi Muhammad dinyatakan oleh Allah karena mendapat rahmat-Nya (fabima rahmatin minallahi linta lahum..)kita juga bisa melihat kemenangan bangsa Indonesia yang menyatakan atas rahmat Allah swt. Jadi rahmat sedemikian penting bagi kita untuk meraih kebahagiaan dan keselamatan.

Ada juga kasus lain yang menjadi i'tibar bagi kita tentang betapa urgennya rahmat bagi manusia dan nasib kehidupannya. Sebuah riwayat yang sangat masyhur bagi kita saat diceritakan bahwa ada seorang wanita tuna susila yang menuju pulang setalah melakukan aktifitas maksiatnya. Tiba-tiba pada saat menuju pulang, ia melihat seekor anjing yang sedang kehausan. Kemudian rasa ibanya mengantarkan ia untuk mengambil air dengan menggunakan sepatu yang dipakainya. Ia mengambil air dalam kubangan air agak dalam -semacam sumur- dengan menggunakan sepatunya kemudian ia meminumkannya kepada anjing tersebut. Masih dirasa belum cukup, wanita tersebut mengambil air untuk kali kedua, namun apa dinyana ternyata wanita tersebut terpeleset hingga masuk kedalam sumur dan akhirnya meninggal. Wanita tersebut dalam keterangannya telah mendapat rahmat dari Allah dan akan dijanjikan akan meraih surga-Nya. Kalau manusia menggunakan logika, maka akan terkesan tidak adil karena hanya menolong anjing kemudian Allah menjanjikannya surga. Tapi itu semua prerogatif Allah karena Ia berkehendak kepada siapapun bagi orang yang dengan tulus murni menerapkan sifat rahmat kepada semua makhluk-Nya.

Namun ada juga sebuah kasus yang terjadi pada zaman Nabi, bahwa diceritakan ada seorang wanita yang ahli ibadah namun ia akhirnya dimasukkan kedalam neraka hanya karena ia telah memenjarakan seekor kucing, tidak memberinya makan dan akhirnya mati. Dua kisah penuh makna ini mestinya menjadi renungan bagi kita semua dalam membenahi prilaku dan sikap kita dalam kehidupan. Jangan-jangan segenap ibadah yang kita lakukan tidak mendapat rahmat dari Allah karena di hati kita penuh dengan jiwa dendam, hasud dan prilaku kasar lainnya yang sangat bertentangan dengan penerapan rahmat pada alam dan makhluk. Nah, sepuluh hari pertama dalam bulan ramadhan itu, yang dinyatakan sebagai waktu dimana Allah akan “mengumbar” rahmat-Nya akan menjadi kesempatan bagi kita untuk melaksanakan amal dan ibadah dengan rasa penuh harap semoga ibadah yang dikerjakan itu akan menjadi wasilah bagi Allah untuk menurunkan rahmat-Nya pada kita. Itu artinya tidak semua amal dan ibadah akan mendapatkan rahmat-Nya. Allah menyebut orang-orang yang dikehendaki-Nya, maka tugas kita sebagai hamba-Nya berusaha mengetahui siapa dan apa saja ciri-ciri orang yang akan mendapatkan rahmat-Nya itu. Rasanya, berusaha belajar menerapkan rahmat pada makhluk Allah –manusia, binatang, pohon, hewan juga benda mati lainnya- akan menjadi pintu masuk bagi kita agar amal yang kita lakukan senantiasa akan dirahmati oleh-Nya. Hal yang tidak kalah pentingnya menyangkut rahasia Allah ini adalah, membenahi qalbu kita dari segala bentuk kekasaran dan ketidakpedulian sehingga yang selalu diperbuat kita adalah berdasarkan pada kelemahlembutan serta perasaan memiliki untuk senantiasa peduli pada kemakmuran makhluk.

Setelah selesai malam-malam rahmat, maka sepuluh hari yang kedua berisi maghfirah atau ampunan dari Allah swt. Maghfirah diberikan karena Allah memberikan kesempatan kepada hambanya yang dhoif untuk memperbaiki kesalahan atau dosa yang diperbuatnya. Allah juga dalam hadits qudsi-Nya menjelaskan bahwa seberapa besar pun dosa yang dilakukan hamba-Nya, kalau sang hamba datang kepada-Nya dengan tulus memohon ampun atas segala dosa yang diperbuat maka dengan rahmat-Nya Ia akan mengampuni, terkecuali dosa syirik atau menyekutukan-Nya.

Bicara tentang dosa memang bukan sebuah kemustahilan bagi prilaku manusia. Sadar atau tidak sadar manusia sangat rentan sekali untuk melakukan dosa-dosa. Allah tentunya sangat memaklumi dan mengetahui proporsinalitas kita sebagai manusia. Karena itulah, sebagai Dzat yang maha pengampun ia memberikan kesempatan bagi manusia untuk memperbaiki diri, tentunya dengan komitmen yang tegas bahwa apa yang dilakukannya sebagai dosa, menyadari sepenuhnya dosa tersebut dan yang terpenting tidak akan pernah mengulangi perbuatan yang sama. Sebagai pemakluman Allah atas dosa manusia, Ia menyapa kita dengan firman-Nya ألا تحبون أن يغفر الله لكم Tidakkah kamu menyukai diampuni oleh Allah. Dalam ayat itu Allah memang benar-benar menampakkan sifatnya yang tidak pendendam dalam arti sangat membuka lebar pintu maaf bagi hamba-Nya yang pernah melakukan khilaf dan dosa. Tahukah kita bahwa dosa yang diampuni itu, karena Allah merupakan Arrahman dan Arrahim yang memiliki sifat rahmat pada makhluknya.

Sepuluh hari yang ketiga dalam bulan ramadhan adalah itqun minannaar (bebas dari neraka). Kalau ini dipahami oleh orang awam maka melakukan puasa dan tarawih pada sepuluh hari itu akan mendapat garansi terhindar dari neraka. Inilah pentingnya memahami keterangan agama dengan cermat dan mendalam. Keterangan itu tidak serta merta akan terjadi pada orang yang melakukan ibadah di sepuluh hari terakhir itu, apalagi orientasi melaksanakannya hanya pada hari-hari itu saja tanpa melihat kualitas dan kuantitas ibadahnya setelah selesai ramadhan. Hemat penulis, ketiga istilah ini -rahmat, maghfirah dan itqun minannaar- merupakan sebuah rangkaian yang selalu berkaitan. Rahmat dengan maghfirah misalnya, bahwa dosa bisa terampuni karena sifat rahmat Allah yang penuh kasih dan maaf terhadap hamba-Nya. Sedangkan itqun minannaar adalah sebuah konsekwensi logis bagi sang hamba saat ia benar-benar mengorientasikan seluruh amalnya hanya karena ingin mendapat rahmat-Nya juga dengan komitmen yang sangat tegas untuk sebisa mungkin menghindari dosa dan prilaku tercela, maka pada saat demikian apalgi bagi Allah selain Ia ingin memberikan kenikmatan surga-Nya atau dengan kata lain menghindarkan sang hamba sejauh-jauhnya dari panasnya neraka.

Demikian, semoga ramadhan membentuk kita menjadi pribadi yang taqwa. Taqwa yang menjadi center prilaku baik kita sehingga segala yang terucap dan diperbuat selalu berdasarkan konsep taqwa itu.

Jumat, 22 April 2011

Yang selalu bergandengan dalam al-Qur'an

Al-qur'an memang sebuah kitab yang benar-benar sempurna. Sempurna bukan hanya ia berasal dari Almutakallim, Allah swt, namun juga karena tidak terdapat cela dan kesalahan baik dari segi substansi dan redaksinya. Al-qur'an terbentuk dari wazan fu'lan yang mengesankan kesempurnaan sehingga al-Qur'an berarti bacaan yang sempurna.

Kesempurnaan al-Qur'an bisa kita lihat dari aneka pengetahuan dan informasi yang di sampaikan. Bahkan yang membuat kagum banyak pembacanya adalah menyampaikan informasi yang baru terjadi setelah sekian lama al-Qur'an itu diturunkan. Al-qur'an -sebagai kitab pedoman ummat Islam- memang memiliki keunikan tersendiri terkait dengan penyampaian pesan, perintah dan larangan, penyusunan redaksi dan kata-kata yang saling berkesesuaian, misalnya kata yaum (hari) didalamnya terdapat 365 kata sebanyak hari dalam setahun atau juga misalnya kata sahr (bulan) yang terulang hingga 12 kali sama dengan jumlah bulan-bulan dalam setahun.

Salah satu keunikan yang disampaikan oleh Allah swt dalam al-Qur'an adalah adanya penyebutan kata yang selalu bergandengan. Penyebutan kata yang bergandengan tersebut tentunya bukan hanya asal sebut, namun memiliki implikasi makna yang semestinya menjadi renungan bagi setiap muslim untuk menangkap makna tersirat yang ingin Allah sampaikan kepada kita. Ini (penyebutan kata yang selalu bergandengan) juga bisa menjadi formula bagi kita, formula untuk berbuat berdasarkan petunjuk dan prioritas. Rasanya tak ada yang perlu disangsikan lagi bahwa cara Allah menyampaikan maksud-Nya dengan cara seperti ini karena sesuatu yang selalu digandengkan itu memiliki keterkaitan yang sangat erat untuk meraih kesempurnaan dan kebaikannya.

Diantara hal-hal yang selalu digandengkan oleh Allah dalam penyebutannya didalam al-Qura'an adalah :

1. Taat kepada Allah dan Taat kepada Rosulullah
Dalam beberapa redaksi ayat didalam al-Qur'an, ketika berbicara tentang ketaatan maka pernyataan Allah adalah taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rosulullah (Muhammad saw). Sangat penting memang sehingga ALlah mengulang kata taat untuk Rosul-Nya itu. Penekanan kata taat itu bisa jadi mengindikasikan betapa urgennya -sebagai bentuk penguatan- untuk taat kepada-Nya dan taat kepada Rosul-Nya. Bisa juga mengandung pesan bahwa ketaatan kepada Allah tidak akan sempurna tanpa taat kepada Nabi Muhammad saw.

Dalam kedudukan maknanya, maka sudah tidak bisa disangsikan lagi bahwa kesempurnaan dan keagungan Islam tidak bisa dipisahkan lagi antara ajaran Allah dan Rosulullah. Allah adalah sumber sedangkan Rosulullah adalah yang bertugas menyampaikan dan mengejawantahkan semua ajaran Allah hingga kita bisa melaksnakannya sampai saat ini. Rosulullah adalah yang memperinci yang global yang ada di al-Quran. Beliau juga yang menjelaskan yang samar menjadi jelas. Maka karena beliaulah yang diutus dan dipercaya untuk menjadi "kepanjangan" ajaran Allah, tidak bisa tidak bahwa ketaatan haruslah memadupadankan antara ajaran Allah dalam al-Qur'an serta ajaran Rosulullah sebagai penyampai dan penjelas ajaran al-Qur'an.

2. Iman dan Amal Sholeh
Dua istilah ini memang telah sangat lazim sekali bagi kita pada saat membaca al-Qur'an dan menghayati maknanya. Pembahasannya juga acap kali kita dapat dari berbagai sumber. Hal ini memang sangat mengesankan kepada kita bahwa keduanya tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain dan tidak bisa berdiri sendiri-sendiri.

Kalau kita bilang teori tidak akan lengkap dan sempurna tanpa adanya praktek maka iman pun tidak akan sempurna tanpa ada implementasinya. Keimanan yang dimiliki seorang muslim menuntut adanya bukti dari apa yang dia imani itu. Bukti itulah yang kemudian akan menjadi penentu bahwa seseorang itu benar-benar memiliki iman yang sesungguhnya atau hanya hiasan bibir saja saat dengan mudahnya diucapkan kata iman itu. Bukti itu juga lah yang akan menentukan kwalitas iman seseorang dihadapan Allah swt. Allah swt menegaskan pada kita bahwa orang yang beriman jangan mengira tak akan diberikan aneka ujian sebagai bukti ketangguhan imannya. Pada saat kita menyatakan diri kita sebagai orang yang beriman maka bersiaplah dengan melakukan aneka amal sholeh yang dituntunkan oleh-Nya seraya memiliki mental yang kuat dan sabar dalam menghadapi ujian-Nya sebagai evaluasi bagi keimanan kita.

Karena itulah tidak ada iman tanpa melakukan amal sholeh dan amal sholeh yang dilakukan tanpa didasari iman kepada-Nya hanya akan menjadi debu berhamburan yang sia-sia.

3. Sholat dan Zakat

Yang bisa kita renungi untuk dijadikan pelajaran dari sholat dan zakat adalah bahwa sholat merupakan lambang hubungan vertikal kepada Allah swt sedangkan zakat urgensinya langsung berdampak pada hubungan kita dengan sesama. Rupanya dengan sholat dan zakat ini, Allah ingin mengajarkan kepada kita bahwa hubungan kita sebagai manusia itu hanya bisa akan lengkap dan sempurna saat kita mempraktekkan keduanya bahkan tidak hanya dalam ritualnya saja, namun pada implementasinya dari makna dan hikmah yang bisa diambil dari kedua istilah itu.

Sholat dalam arti bahasanya berarti doa. Memang pada saat sholat yang kita baca adalah rangkaian doa atau komunikasi kepada-Nya yang penuh dengan pujian, pengakuan akan kebesaran dan keagungan-Nya. Komunikasi intensif yang akan membentuk jiwa yang tawadhu, sadar akan kelemahan dan ketidakberdayaan bahwa semuanya ditetapkan yang terbaik oleh Allah. Zakat menurut bahasanya berarti bersih, bersih dari kotoran ruhani tepatnya. Memang, saat zakat dikeluarkan, diawali dengan timbulnya perasaaan enggan mengeluarkan, terasa berat diberikan karena ia merasa betapa susahnya mencari uang dan seterusnya. Tapi ia berhasil juga dengan mengeluarkannya setelah dorongan akal, perasaan, terutama ajaran agama mendominasinya hingga hatinya luluh untuk mengeluarkan sebagian hartanya demi untuk kemanusiaan dan karena Allah swt.

4. Iman kepada Allah dan hari akhir

Disejumlah ayat dalam al-Qur'an pada saat menyebutkan objek rukun iman maka mesti yang tidak pernah tidak disebut adalah iman kepada Allah dan hari akhir. Demikian juga didalam banyak hadits maka yang selalu disebut oleh Rosulullah adalah iman kepada Allah dan hari akhir atau kiamat. Misalnya saja, من كان يؤمن بالله واليوم الأخر فليقل خيرا أو ليصمت dan hadits-hadits yang lain.

Kalau kita cermati, memang penggandengan antara iman kepada Allah dengan hari akhir bisa dilihat dari penekanan Agama ini terhadap adanya kehidupan setelah alam dunia berakhir. Inti yang ingin disampaikan bahwa kehidupan yang hakiki dengan segala konsekwensinya, baik kebahagiaan atau kesengsaraan, akan datang setelah semua kehidupan dunia berakhir. Maka untuk menyadarkan manusia demi menghantarkannya pada kebaikan dan kebahagiaan yang sempurna hendaklah mereka mengetahui, mengikuti, menaati, dan menjalani semua yang dititahkan Allah dalam ajaran agama-Nya yaitu Islam. Dalam ajaran-Nya, Allah memang sangat menitikberatkan segala aktifitas yang dilakukan selama didunia tidak hanya berorientasi pada kehidupan dunia tapi lebih dari itu mereka mampu mengarahkan aktifitas duniawinya menjadi amalan yang bersifat ukhrowi.

Manusia yang sadar akan ajaran itu, maka pasti akan mendedikasikan seluruh amal dan perbuatannya demi karena Allah, karena karena ia akan menemui kebenaran janji-Nya tentang kebahagiaan yang hakiki dan sempurna setelah semua kehidupan ini berakhir.

5. Jihad dengan AMWAL dan ANFUS

Jihad, memang sementara orang mengartikannya menjadi pengertian yang sempit. Dalam pandangan sempit itu,jihad lebih identik dengan perang, bahkan saat ini pengertiannya menjadi lebih "kabur" karena ada yang menafsirkannya dengan bom bunuh diri dengan mengatasnamakan jihad.

Jihad dalam pandangan penulis adalah sebuah upaya keras dan maksimal dalam mewujudkan sebuah obsesi sampai benar-benar terwujud. Pengertian ini memang sangat umum sekali, karena apapun yang diupayakan secara maksimal atas nama obsesi akan dinamakan jihad. Memang, pengertian itu didasari pada firman Allah yang selalu menggandengkan jihad dengan kata amwal dan anfus. Allah selalu mengawali kata jihad mesti dengan kata amwal baru kemudian anfus. Amwal berarti harta dan anfus berarti jiwa raga.

Berjihad dengan menggunakan harta dan jiwa raga tidak hanya terorientasi pada satu bidang saja, perang misalnya. Tapi justru akan sangat beragam sekali bidang objek yang akan dimasuki oleh kata jihad itu. Dengan harta, kita bisa berjihad untuk kemajuan pendidikan, pengembangan sumber daya manusia, bahkan membantu mengurangi kemiskinan yang metode serta caranya banyak diusung oleh macam-macam lembaga baik pemerintah atau swasta yang ada. Sedangkan jihad dengan jiwa raga atau pribadi secara fisik banyak sekali kondisi dan keadaanya tergantung dari kesediaan orang yang akan berjihad itu.

Ada yang menarik dari pernyataan firman Allah yang selalu mendahulukan kata amwal yang berarti harta baru kemudian anfus (jiwa raga). Barangkali pesan tersirat yang ingin disampaikan adalah bahwa jihad dengan menggunakan amwal akan sangat berarti lebih signifikan dan luas ketimbang anfus. Maka makna yang bisa dipetik adalah bahwa orang Islam mesti memiliki keluasan harta baik secara pribadi ataupun kolektif. Kekuatan ekonomi akan sangat menunjang sekali demi terwujudnya jihad yang diharapkan.

Demikian beberapa istilah yang selalu digandengkan penyebutannya dalam al-Qur'an. Kita tentunya meyakini dan menyadari bahwa Allah sebagai Yang Empunya al-Qur'an, memiliki maksud serta tujuan yang tersirat yang ingin disampaikan. Semoga kita bisa mengambil pelajaran darinya.

Minggu, 06 Maret 2011

Kesan Tentang Qadha dan Qadar

By : Rijal Muhammad

Qadha dan qadar adalah masalah klasik yang mungkin Anda sudah tidak peduli lagi untuk membahas karena sudah sangat meyakini bahwa Allah telah menentukan semuanya untuk kita -makhluk-Nya-. Atau bisa jadi Anda terlalu "bebas" berfikir bahwa semuanya adalah kehendak manusia, mereka bebas memilih dan siap menerima segala konsekwensinya, Tuhan hanya mengarahkan dan menetapkan sunnah-Nya (baca: sunnatullah). Dalam tulisan inilah -yang lebih tepat disebut kesan- justru, kedua pendapat diatas yang menginspirasi lebih jauh tentang fakta yang dialami atas nama qadha dan qadar yang termasuk salah satu objek rukun iman.

Berawal dari sebuah pertanyaan, mengapa qadha dan qadar yang menjadi salah satu objek rukun iman tidak disebutkan secara eksplisit didalam al-Qur'an? Hal yang tidak terjadi pada saat menyebutkan rukun iman yang lain, misalnya iman kepada Allah, malaikat, kitab-kitab, para nabi dan hari akhir yang semuanya disebutkan secara jelas dalam al-Qur'an. Inilah yang membuar saya berkesimpulan bahwa ada maksud dalam pernyataan Allah yang tekait denga qadha dan qadar ini. Allah tidaklah menyatakan sesuatu didalam al-Qur'an kecuali Ia ingin memberikan kesan tertentu agar kita sebagai hamba-Nya menarik hikmah dari kesan tersebut.

Banyak keterangan tentang sesuatu tertentu, misalnya jodoh, rezeki dan kematian adalah hak Tuhan dan Dia-lah yang sepenuhnya menentukan dan mengaturnya. Pemahaman banyak orang pun terlepas dari pemikiran mendalam, pengalaman atau menerima keterangan itu apa adanya, menjadi berbeda yang secara tidak langsung berpengaruh dalam aksinya saat menyikapi hal tersebut. Sebagian orang benar-benar pasrah dalam menerima kondisi yang dia terima dan rasakan terkait ketiga hal tersebut dan mempasrahkan semuanya bahwa Allah-lah yang memberinya itu semua. Sebagian yang lain pun menyatakan ada usaha manusia yang berperan dalam menentukan hasil akhirnya, sehingga dia akan menyatakan bahwa hasil yang tidak maksimal itu (kurang atau buruk) tidak akan disandarkan pada Tuhan.

Berawal dari obrolan iseng dan santai yang bertujuan untuk memahami kebesaran dan kuasa Allah dalam mengatur semua kehidupan. Tetang rizki, jodoh, umur dan lain lain yang memang telah banyak penjelasannya bahkan literatur keagamaannya. Namun jika kita merenung dan membandingkannya lebih jauh ada ssuatu yang sangat menarik terkait dengan cara seseorang mengusahakannya dan hasil yang diperolehnya. Ternyata.. sangat berbeda sekali yang diusahakan dan didapat oleh seseorang. Ya memang beda karena Allah akan menentukan sesuatu untuk masing masing hambanya berbeda dan tergantung kadar si hamba itu. Tapi maksud obrolan itu adalah ada seseorang yang berupaya untuk mengerjakan sesuatu berdasarkan pengetahuan bahkan sunnah sunnahNya namun hasil yang terjadi mereka mendapatkan konsekwensi pengetahuan atau sunnatullah itu tidak semulus yang diharapkan meskipun pada kasus yang sama ada juga yang mendapatkan sesuai usahanya itu.

Untuk memperjelas pernyataan diatas misalnya, ada seorang artis tua kita sebut sajalah Ibu Titik Puspa, yang meskipun sudah berusia udzur namun masih terlihat sehat dan orang sekarang bilang awet muda. Padahal yang sebayanya jangankan terlihat segar dan sehat masih berumur panjang saja sudah jarang. Memang kalau mendengar sedikit pernyataannya bahwa beliau adalah yang sangat peduli dengan kesehatannya itu sehingga selalu mengantisipasi dengan upaya upaya kesehatan yang membuat dirinya bertahan hingga setua itu. Namun pada kasus yang lain tidak semua orang merasakan hal serupa meskipun usahanya juga sama.

Ada juga kisah yang pernah penulis alami sendiri saat berencana dengan pasangan penulis untuk berusaha mendapatkan anak laki-laki. Info yang penulis dapat bahwa jika ingin mendapatkan anak laki-laki maka bagi orang tua hendaknya memakan lebih banyak daging dan ikan-ikanan, sedangkan jika menginginkan perempuan lebih banyak memakan sayur-sayuran. Informasi ini memang penulis dan pasangan sangat perhatikan dan alhamdulillah jika memang semua ikhtiar itu benar, terjadi atas izin Allah swt.

Masih banyak contoh kasus yang serupa, tapi inti dari semua itu bahwa yang dilakukan oleh seseorang kemudian berhasil belum tentu juga akan berhasil jika dilakukan oleh orang lain. Betul memang Allah swt menerapkan sunnah-sunnahNya di dunia ini. Bahwa yang mengikuti sunnah atau hukum-Nya yang fitri akan merasakan kebenaran dari nilai-nilai fitri itu. Tapi faktanya...? Tidak semua merasakan dengan lancar dan sukses semua ikhtiar yang dilakukan sebagai bentuk pilihan takdirnya. Pada contoh seperti ini, bukan sunnatullah atau nilai-nilai fitri-Nya yang salah atau juga bukan karena orang tersebut yang salah memilih takdirnya, tapi sentuhan Tangan Allah rasasanya lebih kuat dan berpengaruh terhadap hasil dari ikhtiar yang dilakukan seseorang.

Apa makna sentuhan Tangan Allah itu. Bisa jadi pada saat kita berazam itu ada niat yang salah dan keliru sehingga Allah mengalihkan kepada hasil yang lain. Bisa jadi karena "syarat dan rukun" untuk mengerjakan sesuatu belum terpenuhi, sehingga sementara Allah membatalkannya. Bisa jadi ambisi yang terlalu kuat, sedangkan pengetahuan dan wawasan untuk mengelola dan mengurus ambisi itu belum dikuasai sehingga Allah mengulur waktunya. Bisa jadi yang kita harapkan itu bersifat sementara dan membahayakan sementara Allah menginginkan yang langgeng dan bermanfaat sehingga digagalkan harapan tersebut. Dan masih banyak lagi kemungkinan-kemungkinan yang terjadi atas apa yang kita usahakan namun hasil yang kita dapat tidak seperti apa yang kita mau.

Inilah yang terjadi pada saat kita memahami dan merenungi masalah taqdir. Rezki, jodoh, maut memang benar urusan Allah tapi manusia bukan tidak ada andil untuk melakukan pilihan taqdirnya. Saya akan menganggap sangat salah bahwa tiga hal tersebut mutlak di tangan-Nya tanpa harus melakukan usaha yang maksimal. Manusia sekali lagi punya andil yang cukup besar untuk melakukan sesuatu tapi pada saat bersamaan Allah juga memiliki hak yang mutlak dalam menentukan hasil yang diikhtiarkan hamba-Nya. Kenapa bisa begitu, karena sebagai orang yang beriman kepada Allah, tak ada yang lebih baik dari sesuatu yang dipilihkan Allah untuk kita. Cuma masalahnya, sudah layakkah kita mendapatkan pilihan yang yang sangat baik dan ideal disisinya. Allah akan menganugerahi kita sebatas kepantasan kita untuk mendapatkannya. Allah akan memberikan sesuatu kepada kita tergantung kualitas kepribadian dan jiwa kita. Karena Allah adalah Rabbuna, dzat yang memelihara, mendidik dan mengarahkan kita kepada sesuatu yang paling baik dan pas untuk kita.

Mengutip pendapat Bapak Mario Teguh, "tidak ada orang beragama yang lebih sesat selain dari yang salah memahami ajaran agamanya tersebut". Semoga kita termasuk orang yang bisa memahami ajaran Agama ini dengan baik, sehingga segala apa yang kita ucap dan perbuat sejalan dengan sunnatullah dan nilai-nilai fitri yang diterapkannya. Semakin kita mengetahui dan mengamalkan sunnah-Nya maka akan semakin layak bagi Allah untuk memberikan yang paling baik untu kita. Semoga, Wallahu a'lam.

Sabtu, 01 Januari 2011

Mengenal diri melalui hakikat ibadah

By : Rijal Muhammad

Ada kisah seseorang pada saat ia menghadapi sakratul maut, seolah ia berada didepan sebuah pintu gerbang. Ia ingin masuk kedalam pintu dengan mengetuk pintu gerbang itu. Kemudian setelah itu ada suara dari dalam sambil bertanya ..

"Siapa kamu ?", "Saya udin tuan ". sahut orang ini
Apa itu nama kamu? " Iya tuan, itu nama saya ".
Maaf saya tidak bertanya nama kamu siapa, yang saya tanya " kamu siapa ?"
" Oh... saya anak lurah tuan " jawab lagi orang ini.
Maaf.. Saya engga tanya kamu anak siapa.. yang saya tanya kamu siapa?
Lagi-lagi orang ini menjawab, " oh... saya seorang insinyur tuan ".
Maaf, saya juga tidak bertanya gelar atau titel kamu apa.. yang saya tanya " siapa kamu ?".
Berfikir lagi orang ini sambil agak kebingungan, karena setiap jawaban yang diberikan selalu salah. Merenung sejenak kemudian dia memberikan jawaban yang agak sedikit religius. " Oh saya ini muslim tuan, saya pengikut Nabi Muhammad saw ". dijawab sama orang yang ada dalam pintu gerbang itu, " sekali lagi maaf, saya pun tidak bertanya kamu agama apa dan kamu pengikut nabi siapa, yang saya tanya kamu itu siapa?". Lagi-lagi dibuat bingung orang ini sambil dia berfikir lagi dan memberikan jawaban pamungkas, " saya ini manusia tuan, saya ini sering melakukan sholat, zakat, sedekah saya pun sudah berhaji ". Dijawab sama orang yang ad dalam pintu gerbang, " maaf sekali lagi maaf saya pun tidak tidak bertanya kamu dari jenis apa dan amalan kamu apa, yang saya tanya kamu itu siapa? ". Pergilah orang ini sambil tetap merasa kebingungan, dia terjegal dipintu pertama karena tidak bisa menjawab pertanyaan singkat itu.

Siapa kamu? siapa kita? Pertanyaan singkat dan sederhana namun tidak sesederhana untuk dijawab. Pertanyaan ini mengingatkan kita kepada salah satu hikmah " Man arafa nafsahu faqad arafa rabbahu ", siapa yang mengenal dirinya akan mengenal Tuhannya. Sebuah pertanyaan yang ingin mengungkap siapa sejatinya kita sebagai manusia. Kisah tersebut menjadi pelajaran sekaligus gambaran umum kita sebagai manusia. Biasanya kita pada saat mengidentifkasi diri kita selalu menjawab dengan hal-hal yang serupa pada cerita diatas. Kita lebih tertarik untuk menjelaskan diri kita dengan nama besar, titel atau gelar, profesi, karya atau aktifitas-aktifitas kita. Jawaban-jawaban tersebut ternyata tidak bisa menggambarkan keutuhan atau paling tidak hakikat kita sebagai manusia.

Alangkah naifnya kita memang kalau tidak mengenal diri. Coba bayangkan jika ada seseorang tamu masuk ke sebuah kantor, didalam kantor kemudian melakukan prilaku tak beretika seperti berkata keras atau kasar,tolak pinggang saat berjalan dan tidak pernah permisi dalam melakukan sesuatu didalamnya, maka bagaimanakah reaksi pegawai resmi dalam kantor itu? Marah, kesel, membentak bahkan sampai mengusir. Kalau kita sepakat untuk mengatakan bahwa pegawai kantor itu wajar marah melihat tingkah laku kurang ajar tamu yang tidak tahu diri itu, maka analogikanlah dengan kita yang berada dialam dunia yang diciptakan oleh Allah ini, tapi kita berprilaku "sakarepe dewek", tidak kenal aturan, hukum, melakukan sesuatu atas dasar kepentingan nafsu demi ambisi pribadi, intinya karena kita tidak tahu diri dialam ini, wajarkah kalau Allah memberikan pelajaran -kalau enggan menyebut-Nya marah-kepada kita misalnya dengan menurunkan adzab? Ya... kalau kasusnya sama dengan tamu yang tidak tahu diri itu maka kita juga akan berkata ya.. untuk Allah yang memberikan peringatan kepada kita yang tidak tahu diri ini.

Tahu diri konteksnya antara kita dengan Allah itu sangat penting dalam membentuk pribadi yang sholeh spiritual, emosional dan intelektual. Bagaimana tidak, karena terbentuknya keharmonisan dialam tergantung juga pada seberapa tahu kita tentang diri yang menggabungkan ketiga kesholehan tersebut tadi.Tidak terlalu mudah memang untuk mengidentifikasi sejatinya diri kita, karena bisa jadi setiap individu yang konsen untuk mencari jawaban yang serupa terhadap pertanyaan ini, akan menjumpai dan menemukan cara serta jawaban yang beragam. Namun, pada tulisan ini hanya ingin mengulas tentang makna ibadah yang korelasinya dengan pengejawantahan diri dalam bersikap, berprilaku, bertutur dan lain-lain dalam kehidupan ini.

Berawal dari sebuah kisah seorang tua bernama Unwan yang datang kepada salah seorang zahid imam Ja'far Ashodiq sambil bertanya, " hai Imam, sudikah kiranya engkau jelaskan apa hakikat ibadah itu?". Sang imam menjawab," pertama, dia tidak mengakui apa yang ada dalam genggamannya sebagai miliknya tapi milik Tuhannya. Kedua, perbuatan yang dilakukan hanya berkisar pada menjalankan apa yang diperintahkan Tuhannya dan menjauhi larangan-Nya. Ketiga, dia tidak akan memastikan untuk melakukan sesuatu kecuali setelah ia meminta izin dari Tuhannya ".

Jawaban ini menegaskan tentang posisi atau kedudukan kita yang tak lain sebagai pesuruh-Nya yang memiliki porsi tertentu, dalam menjadi wakil-Nya didunia sebagai kepanjangan tangan dari-Nya. Dalam pertanyaan tersebut dijelaskan tentang hakikat ibadah. Ibadah terambil dari kata dasar 'abada yang memiliki arti taat, menurut, mengikut dan sebagainya. Kita sering menterjemahkannya dengan kata menyembah. 'Abid adalah orang yang menyembah, ma'bud yang disembah. Masih dari akar yang sama abdun berarti hamba semua maknanya akan berkisar pada makna dasar diatas.

Abdun atau 'abd sering kita artikan hamba. Dalam bahasa kita tedapat padanan kata yang menyerupai seperti budak, pesuruh, pembantu, atau yang lebih kasar dari itu jongos. Tidak sepenuhnnya tepat mengartikan kata 'abd dengan padanan kata-kata tersebut karena masing-masing ada kata yang lebih pas dan mendekati maknanya. Namun, semangat kata-kata tersebut yang ingin diungkap pada tulisan ini. Kita memang semua disebut hamba, hamba Allah. Kita rasanya juga pantas untuk menyebut diri kita sebagai "pembantu Allah", "pesuruh Allah", "jongosnya Allah". Tidak perlu malu dan gengsi untuk mengakui itu, karena fakta dan hakikatnya kita sebetulnya seperti itu. Jadi pada saat kita melakukan ibadah, maka sudah tergambar jelas dalam benak dan pikiran kita tentang apa yang kita kerjakan, kenapa kita mengerjakan karena kita sadar siapa kita yang mengerjakan ibadah itu.

Kembali pada jawaban sang Imam tentang perincian hakikat ibadah. Yang pertama beliau menjelaskan bahwa hakikat ibadah adalah tidak mengakui apa yang ada dalam genggamannya sebagai miliknya, tapi milik pihak yang kepadanya dia mengabdi. Seorang hamba memang harus memahami dan menyadari itu dengan baik. Dia akan salah kalau menyatakan bahwa semua yang dipunyai sebagai miliknya. Karena bagaimana mungkin, seorang pembantu yang diserahi rumah, mobil, dan barang-barang yang lain oleh majikannya sebagai miliknya. Dia -pembantu itu- hanya kedapatan memiliki karena dititipi untuk dijaga dan dirawat dengan sebaik-baiknya. Seorang hamba Allah pun demikian, semua yang dia miliki entah berbentuk harta, istri & anak, jabatan jika ia mendudukinya, kendaraan dan lain sebagainya pada hakikatnya adalah sebagai titipan yang seharusnya menjadi mediator yang bisa membuatnya lebih dekat dengan Allah swt. Jika tidak menyadari itu, maka bersiaplah karena semua yang "dianggap miliknya itu" akan menjadi ujian berat atau bahkan fitnah untuknya.

Allah swt menegaskan bahwa semua yang ada dilangit dan dibumi adalah milik-Nya. Meskipun kita berdalih bahwa semua itu kita dapat karena kita upayakan, namun semua itu terjadi juga atas izin-Nya, kita tidak bisa menisbatkannya mutlak pada diri kita. Pemahaman ini sangat perlu, karena terkadang buat sebagian besar kita, sangat tidak siap terutama secara mental pada saat sesuatu yang dia anggap "miliknya" hilang karena sebab tertentu mislanya. Ada yang tidak siap saat terjadi kematian anak atau istri tercintanya. Ada yang menjadi stres berat karena hartanya yang dicari puluhan tahun misalnya habis dirampok. Ada yang menjadi depresi karena tidak bisa lagi mencalonkan diri sebagai orang penting dipemerintahan. Hal-hal senada semacam ini akan menjangkit siapapun yang tidak menyadari bahwa semuanya milik Allah, Allah bisa kapan saja mengambil jika Dia mau dan semuanya hanya akan kembali kepada-Nya.

Pemahaman yang baik tentang kenyataan bahwa semua yang kita miliki hakikatnya adalah milik Allah swt, akan menumbuhkan beberapa sikap positif diantaranya ; tidak sombong, karena bagaimana dia sombong padahal semuanya adalah milik-Nya. Seorang pembantu sopir bagaimana dia merasa sombong dengan mobil yang dkendarai, padahal mobil itu milik najikannya. Amanah, seorang hambapun akan berlaku amanah -semestinya- terhadap semua yang dia miliki. Tanggung jawab, menjaga, merawat dan memanfaatkannya sesuai dengan instruksi yang diberikan. Dia enggan lepas tanggung jawab (khiyanat) dari semua beban yang dimilikinya itu. Ikhlas, kalau suatu saat dia harus berpisah atau kehilangan "miliknya" itu, maka diapun rela dan menerima semuanya terjadi, karena dia meyakini betul bahwa semuanya berasal dari-Nya dan akan kembali hanya kepada-Nya. Ibarat seorang sopir yang rela saat meajikannya ingin memakai atau mengambil mobil yang setiap hari digunakan olehnya.

Point kedua dari hakikat ibadah, yaitu hanya menjalankan apa yang diperintahnkan dan menjauhi semua yang dilarang, juga akan meneguhkan prinsip sang hamba bahwa dia tidak akan membuang waktu sia-sia karena dia memiliki job description yang jelas tentang apa yang patut dikerjakan dan yang tidak. Sedangkan point yang ketiga, yaitu tidak pernah memastikan untuk meminta atau mengerjakan sesuatu kecuali setelah ia mendapatkan izin dari majikannya, akan membuat seorang hamba akan bijaksana dalam menentukan dan mengambil sebuah keputusan. Seorang pembantu yang baik tidak akan pergi dari rumah majikannya kecuali setelah dia memastikan bahwa dia telah dizinkan keluar. Demikian juga seorang hamba, semua pernyataannya, ketetapannya selalu dikaitkan dengan Tuhannya seraya mengucap INSYAALLAH, bahwa semua terjadi atas izin-Nya.

Ada pelajaran penting bagi hamba terkait dengan point ketiga ini. Banyak yang secara sengaja (dengan keangkuhannya) atau tanpa disengaja untuk memastikan terjadinya sesuatu dengan bangganya. " Baiklah besok pasti akan selesai", "tenang saja semua saya yang atur besok", " ah itu si hal sepele biar saya yang akan tanggulangi", ucapan-ucapan yang sudah lazim ini sebetulnya secara tidak langsung telah mendahului izin Tuhan, karena siapa yang bisa memastikan bahwa esok hari yang berkata seperi itu amsih hidup atau tidak. Firman Allah menyatakan ولا تقولن لشيئ إنى فاعل ذلك غدا jangan sekali-kali kamu berkata sayalah yang akan mengerjakannya besok. Seorang hamba akan berupaya bijak dalam menyikapi hal-hal seperti ini, karena penyakit kemanusiaan yang akan segera diberikan pelajaran langsung dari Allah adalah kesombongan.

Dalam akhir tulisan ini, berdasarkan pemaparan yang sederhana, patut kiranya bagi kita untuk mengejawantahkan prinsip demikian karena fakta serta keadaannya mengharuskan kita untuk seperti itu. Tidak malu untuk menyebut diri kita sebagai hamba, budak atau pembantu Allah yang senantiasa bertugas (beramal) demi karena-Nya karena Ia telah bebrbuat baik kepada kita. Karena itu, kita juga harus menjunjung tinggi sifat profesionalitas kehambaan kita disisi-Nya dengan cara :
1. Mengetahui semua tugas dan kewajiban kita dengan baik agar kita tahu bagaimana kita berbuat.
2. Melakukan tugas dan kewajiban itu dengan penuh tanggung jawab (amanah, tidak pernah melalaikan dan menyianyiakannya.
3. Siap mempertanggungjwabkan semua perbuatan yang telah kita lakukan, sebagai bukti bahwa kita telah mempersembahkan yang terbaik.

Demikian semoga menggugah kita untuk selalu lebih baik...