Senin, 03 Desember 2012

IBU Memang SEKOLAH Pertama

By : Rijal Muhammad

Ada sebuah pepatah Arab yang menyatakan bahwa ibu adalah sekolah pertama. Sekolah pertama tentunya bagi anak-anaknya yang dirawat dan dididiknya hingga mereka betulan masuk ke sekolah formal. Judul tulisan ini memang terispirasi dari pengamatan sederhana penulis tentang prilaku beberapa anak, baik itu prilaku baik maupun buruknya, yang terpengaruh dengan pola asuh dalam lingkungan keluarganya. Keluarga yang harmonis, penuh dengan perhatian antara anak dengan orang tua begitu juga sebaliknya, serta kepedulian dan ketegasan orang tua menyangkut hak, kewajiban serta kebutuhan anak, akan memberikan dampak positif yang tidak diraih oleh keluarga yang mengabaikan point-point tersebut.

Jika ibu diibaratkan sekolah bagi putra putrinya, berarti ia merupakan wadah sekaligus guru (murabbiyah) bagi mereka. Istilah murabbiyah tidak hanya berkonotasi pada pengajaran hal-hal baru pada anak yang terkait dengan ilmu dan pengetahuan, namun lebih jauh dari itu seorang murabbiyah juga akan mengajarkan kepadanya hal-hal yang patut atau tidak, benar atau salah, memberikan pengarahan tentang apa yang wajar untuk dilakukan dan mana yang harus ditinggalkan, meninggalkan untuk memberikan sesuatu yang baik buatnya karena belum tepat masanya. Intinya seorang murabbiyah akan berkonsentrasi pada pembimbingan moral, karakter, kepribadian positif pada putra putrinya yang diharapkan akan menjadi kebiasaan kemudian menjadi sifat yang terbentuk sejak dini dan pada akhirnya nanti akan lahir sosok-sosok pribadi yang unggul tidak hanya dalam pengetahuan namun juga moral, sosial, emosional serta spiritual yang baik. Generasi inilah sebetulnya yang sangat diharapkan oleh semua.

Kata "al-umm" yang berarti ibu seakar dengan kata "imam" yang pada mulanya berarti pihak yang harus diikuti dan diteladani. Seorang makmum haruslah mengikuti imam dengan benar jika tidak ingin batal dalam keikutsertaannya berjamaah. Seorang anak pun demikian, kepada al-umm atau ibunya melakukan hal yang sama seperti makmum sehingga nantinya akan menjadi "ummat" -masih seakar dengan kata al-umm dan imam- yang benar.

Jika demikian maka sudah bisa dibayangkan betapa besar dan beratnya tugas yang diemban seorang ibu atau al-umm itu. Seorang ibu tidak hanya bertugas menghidupi putra-dan putrinya saja, namun ia juga harus memiliki kompetensi-kompetensi yang disebutkan diatas sehingga ia mampu melaksanakan tugas tersebut dengan baik. Disamping memiliki kompetensi tersebut, hal yang tidak kalah pentingnya adalah ia sanggup menjadi teladan bagi anaknya terkait dengan semua hal yang diajarkan dan dididiknya. Karena itulah dalam bahasa Arab ibu berarti "ummun".

Namun demikian, banyak dan beratnya tugas yang diemban seorang ibu dalam mengurus, mengajarkan dan mendidik anak-anaknya merupakan jihad tersendiri buatnya, yang bisa jadi tidak dimiliki oleh seorang ayah. Keuletan, ketelatenan dan kesabarannya dalam mengurus anak bisa terlihat sangat jelas kualitasnya jika tugas tersebut dilimpahkan kepada seorang ayah. Hal ini memang merupakan fitrah yang Allah berikan kepada makhluk yang katanya lemah, padahal sebenarnya sangat "kuat", yaitu seorang wanita terutama yang telah menjadi ibu.

Namun jika kita melihat pada kondisi dan kehidupan para ibu saat ini, rasanya apa yang disampaikan diatas banyak yang tidak terlaksana bahkan cenderung terabaikan. Walhasil, muncullah sosok-sosok anak yang tidak stabil mental dan intelektualiasnya karena tidak tersentuh oleh kasih sayang, kepedulian, perhatian orang tuanya terutama ibu yang -sebetulnya- kuantitas waktunya untuk anak lebih banyak.

Penyebabnya pun bisa kita ketahui misalnya, rendahnya pendidikan sehingga ibu bisa jadi tidak mampu memberikan pengetahuan sehingga anak tak terbiasa menerima pengetahuan dari sejak kecil yang bisa jadi mempengaruhi kualiata pendidikannya di sekolah formal. Ada juga prilaku anak yang buruk dan salah karena orang tuanya baik ibu dan ayahnya sibuk dengan pekerjaannya masing-masing sehingga lalai dalam memberikan hak-hak anak, minimnya kuantitas pertemuan yang mengakrabkan bahkan hilang tugas kontrolnya sebagai orang tua yang menyebabkan anak bebas mengerjakan apapun yang diinginkan tanpa diketahui. Dan yang menyedihkan adalah ketika kebebasan anak itu mengarah kepada hal-hal negatif dan membahayakan. Diantara penyebabnya juga adalah karena prilaku orang tuanya yang memiliki perangai buruk. Anak adalah apa yang dilihat dan didengar dari orang tuanya. Sifatnya yang buruk akan menafikan dirinya sebagai teladan bagi anak-anaknya. Anak dengan sendirinya akan meniru dan menjadikannya sebagai kebiasaan. Inilah barangkali hal terburuk yang mampu diturunkan orang tua kepada anaknya.

Dari beberapa penyebab yang dipaparkan, bisa jadi yang terakhirlah yang sangat signifikan mencetak figur-figur anak yang kurang berkualitas. Kalau karena pendidikan orang tua, sebenarnya tidak sedikit juga orang tua yang tidak berpendidikan tinggi namun anaknya jauh melampauinya dan menjadi sukses. Ini bisa disebabkan karena motivasi dan arahan orang tuanya yang berkeinginan agar kekurangberhasilannya tidak menurun kepada generasinya, sehingga orang tua berupaya keras untuk menjadikan anak-anaknya lebih baik darinya. Kalau karena sifat workaholic nya orang tua, sebetulnya orang tua bisa memanfaatkan fasilitas modern berupa teknologi, untuk menjalin komunikasi yang aktif dan penuh keakraban. Fisik boleh berjauhan namun hubungan erat anak dan orang tua tetap dekat dihati. Mereka juga bisa mengintensifkan waktu libur untuk menjalin komunikasi serta hubungan yang berkualitas pada anak-anak mereka. Namun penyebab yang terakhir, yaitu perangai orang tua yang buruk, sekali lagi, bisa menjadi penyebab tersukses seorang anak mengikuti jejak buruknya. Bayangkan saja, orang tua yang tidak peduli melakukan keburukan yang dilihat oleh anak-anaknya, merupakan cerminan orang tua yang acuh terhadap perkembangan kepribadian positif seorang anak. Jika memang kondisinya demikian, maka bisa dipastikan seorang anak yang memiliki orang tua seperti itu tidak akan mendapatkan nilai-nilai positif bagi perkembangan intelektualnya, emosional, lebih-lebih spiritualnnya.

Jadi intinya, dari sekian penyebab munculnya sejumlah anak yang memiliki mental buruk disebabkan karena ketidakpedulian orang tua terutama ibu dalam mengurus, mengajar, mendidik serta menjadi teladan buat anak-anaknya. Dengan kata lain banyak dari para ibu yang mengabaikan fungsi dia sebagai al-umm seperti yang dijelaskan sebelumnya.

Untuk itulah maka, bagi para wanita yang akan menjadi ibu hendaknya memahami dan menyadari tugas yang akan dia emban dengan baik. Keberhasilan seorang ibu akan sangat bergantung pada apa yang ia berikan buat anknya baik secara kuantitas maupun kualitas. Tidak bisa dipungkiri, seorang ibu yang mau mengurus dan mendidik anaknya secara penuh dan dengan komitmen yang tinggi, akan menuai hasil yang berbeda dengan seorang ibu yang hanya punya 1 hari untuk anaknya karena segudang kesibukan dan tugas yang dimilikinya. Tulisan ini bukan berarti menolak bahwa wanita tidak boleh berkarir diluar, namun sebagai penegasan bahwa kuantitas seorang ibu terhadap kepengurusan anaknya yang lebih sering pasti akan berbeda hasilnya dengan yang lebih sedikit.

Sebagai acuan dari penjelasan tadi lihatlah firman Allah dalam surat al-Ahzab ayat 33,

“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”

Ayat ini memang membicarakan tentang istri Nabi, namun bukan berarti tidak berlaku bagi wanita lain atau para ibu. Justru al-Qur'an itu merupakan petunjuk bagi semua kalangan tanpa batas. Dari sinilah idealnya, seorang ayahlah yang bertugas mencari nafkah dan istri memaksimalkan peran ibu dirumah dalam menyiapkan generasi muslim yang lebih tangguh dan unggul. Rasanya tidak ada yang lebih membahagiakan bagi orang tua selain mampu menghadirkan seorang anak yang bisa berkontribusi besar bagi banyak pihak dan mampu meraih kesuksesannya untuk dunia dan akhirat.

Terkait dengan peran ibu dalam menyiapkan generasi emasnya, Muhammad Quthb dalam bukunya Ma’rakah At Taqalid menulis,

“Islam memperhatikan pria dan wanita karena mereka akan menjadi ibu-bapak produk baru. Tetapi Islam lebih memperhatikan wanita, karena wanitalah pembangun hakiki dari generasi. Sedangkan ayah baru menyusul kemudian. Mungkin ayah yang akan mendidik tapi itu nanti sesudah peranan sang ibu. Itulah sebabnya Islam mengusahakan terjaminnya belanja hidup sang ibu, agar ia tidak usah bekerja di luar rumah.”

Kebenaran Al Qur’an dan konsep Islam dalam mendudukkan perang seorang wanita menjadi ibu di rumah memang terbukti benar dalam serangkaian penelitian. Di Inggris kini telah terjadi tren dimana para wanita sudah terfikir meninggalkan karirnya dan memilih untuk berkonsentrasi di rumahnya.

Sebuah majalah wanita, Genius Beauty, memberitakan bahwa para psikolog dan sosiolog Inggris menemukan bahwa 70% wanita Inggris menginginkan membangun sebuah keluarga yang bahagia bersama dengan pasangan mereka. Mereka memiliki kecendrungan untuk menjadi wanita yang lebih dekat kepada anaknya, ketimbang dengan “bos” nya.

Kembali kepada judul diatas, kalau seorang ibu dianalogikan dengan sekolah bagi anaknya, maka lihatlah, tidak semua sekolah mampu mencetak siswanya berhasil menjadi pribadi yang besar nan unggul. Hanya sekolah tertentu, dengan kualitas guru dan konsep pengajarannya yang benar serta komitmen kuat dari semua pihak untuk menjadikan anak didiknya berhasil dan unggul, maka seorang ibu pun mesti belajar dari situasi dan kondisi sebuah sekolah yang ada. Kalau ibu diibaratkan sekolah maka ayah merupakan pemilik sekolah tersebut. Sekolah tak akan bisa berkembang dan mencetak siswa yang sukses kalau pemilik sekolah tidak peduli dengan sekolah tersebut. Ibu berperan mengurus dan mendidik anak, ayah bertugas membiayai dan mengontrol perkembangan yang terjadi. Karena itu, ibu dan ayah harus bersinergi demi menghadirkan generasi yang unggul, mampu bersaing dan berkompetisi dengan tujuan bisa memberikan kontribusi yang bermanfaat bagi banyak orang yang dilandasi dengan emosional serta spiritual yang baik.

Selamat berjihad wahai para ibu, balasan baik dari Allah akan segera menanti.