Senin, 16 Januari 2012

Menelaah bacaan dan makna ALHAMDU LILLAAH

By : Rijal Muhammad

Sebagian cara yang terdapat didalam al-Qur'an dalam penyusunan suratnya adalah metode induksi-deduksi, yaitu mengurutkan surat dari yang paling global dan umum kepada surat yang lebih khusus dan terperinci. Ini juga yang berlaku pada penerapan surat al-Fatihah yang berada diurutan pertama dalam al-Qur'an meskipun bukan yang pertama diturunkan.

Semua ayat-ayat yang ada dalam al-Fatihah menjadi "miniatur" al-Qur'an karena mencakup isi-isi pokok kandungan al-Qur'an semisal ibadah, aqidah, akhlak, sejarah dan lain-lain. Alfatihah sesuai dengan namanya berarti pembuka. Pembuka dari surat-surat yang ada dalam al-Qur'an. Pembuka dari segala kandungan yang terdapat didalam al-Qur'an. Dan pembukaan tersebut diawali dengan pernyataan segala puji bagi Allah setelah sebelumnya tentunya diawali dengan basmalah.

Alhamdulillahi, demikian kandungan pertama yang disampaikan Allah dalam surat al-Fatihah ini. Tentunya jumlah kata ini yang didahulukan bukan tanpa dasar dan rahasia, namun memiliki sejumlah implikasi makna yang akan memandu kita dalam memahami dan mengamalkan kandungan-kandungan yang lain dalam kehidupan kita.

Diantara telaah kebahasaan terhadap bacaan ALHAMDU LILLAHI ialah sebagai berikut :

1. Kata "Alhamdu" berasal dari fiil madhi "hamida" berarti memuji, sedangkan dalam kata yang lain ada juga kata "Almadhu" dari fiil madhi "madaha" yang juga berarti memuji.

Itulah uniknya bahasa Arab yang menandakan kekayaan kosa kata yang dimilikinya. Perbedaan dari kedua kata tersebut yang secara umum memiliki arti yang sama namun dalam detailnya tidaklah sama, misalnya :

Pertama, kata alhamdu itu memilki arti pujian dengan ucapan yang mengundang decak kagum pada suatu perbuatan atau keindahan, yang bersifat "ikhtiari", baik konteks pujiannya tentang nikmat atau selainnya. Sedangkan kata almadhu bersifat "idhtirary". Maksud dari ikhtiari adalah bahwa keindahan tersebut bersifat aktif dan diusahakan. Misalnya, si A dikenal sebagai orang miskin, namun karena ia tergerak untuk menjadi kaya ia pun berusaha sekuat tenaga untuk menjadi kaya. Kemudian jadilah ia kaya. Dia dipuji oleh banyak orang karena upaya kerasnya dan kedermawanannya kepada sesama. Seangkan idhtirary bersifat pasif dan cenderung sudah menjadi bawaan. Misalnya, si B terlahir dengan memiliki hidung yang mancung. Saat besar dia terlihat gagah dan mancung hidungnya menjadikan wajahnya rupawan. Karenanya, penggunaan kata alhamdu bukan almadhu untuk menekankan bahwa segala pujian yang disandarkan kepada Allah berasal dari ketentuan-ketentuan yang bersifat aktif dan pilihan atau terusahakan.

Kedua, kata alhamdu berarti pujian dimana orang yang memuji itu kemudian mengalami perasaan kagum dan cinta bahkan berusaha mengikuti kebaikan dari orang yang dipujinya itu. Karena itu, kata alhamdu cuma disampaikan kepada makhluk yang berakal. Sedangkan kata almadhu hanya sebatas melontarkan pujian saja tanpa dia merasa mencintainya atau berusaha untuk mengikuti kepada siapa atau apa yang dia puji.Karena itu, cakupan objek pujian kata almadhu itu lebih luas karena mencakup juga benda mati atau makhluk tak berakal.

Ketiga, kata almadhu terkadang digunakan sebelum seseorang melakukan kebaikan, termasuk juga sesudahnya. jadi dalam penggunaan kata ini ada orang dipuji meskipun dia belum melakukan sesuatu apapun. Berbeda dengan kata alhamdu yang baru bisa terucap kalau seseorang telah melakukan kebaikan. Jika demikian apa bedanya dengan kata "syukur". Dalam hal ini syukur memiliki kesamaan dengan kata alhamdu, hanya bedanya kalau syukur itu jika seseorang telah menerima nikmat, hanya nikmat tidak untuk yang lain. Sedangkan kata alhamdu mencakup nikmat dan selainnya seperti sifat atau atau kelakuan baik.

Dari keterangan diatas, jelaslah kenapa kata alhamdu yang dipilih bukan kata almadhu. Disamping karena Allah adalah Dzat yang menciptakan makhluk yang berakal namun juga karena pujian kepada-Nya harus menghantarkan kita untuk mengagumi, mencintai dan kemudian meneladani kebaikan dari pujian itu. itulah pujian yang aktif.

2. Kata Alhamdu lillahi biasa kita terjemahkan dengan arti segala puji milik Allah swt. Dari terjemahan tersebut, terdapat kata "segala/semua" karena meskipun kata alhamdu berbentuk mufrad atau tunggal namun fungsi alif lam pada kata tersebut sebagai "lil istighraq" untuk menyatakan makna keseluruhan. Sehingga mafhumnya adalah segala bentuk pujian yang ada dan yang tersampaikan hakikatnya adalah milik Allah swt.

Sementara ulama memang melakukan penafsiran terhadap jenis pujian ini menjadi 4 macam.

Pertama, hamdu Qadimin liqadimin yaitu pujian Allah kepada dzatnya sendiri. Misalnya, saat Allah adalah Dzat yang telah menciptakan beberapa lapis langit dan bumi, Allah berfirman الحمد لله الذى خلق السموات والأرض segala puji bagi Allah yang telah menciptakan beberapa lapis langit dan bumi. Yang mencipta Allah dan yang menyatakan hal itu juga Dzatnya.

Kedua, hamdu Qadimin liHaadits yaitu pujian Allah kepada hamba-Nya. Misalnya saat menilai bahwa Nabi Sulaiman dan Ayyu adalah sebaik-baik hamba-Nya dalam hal kuantitasnya melakukan taubat dan ibadah kepada Allah, seperti pada firman-Nya نعم العبد إنه أواب. Dalam konteks Allah memuji hamba-Nya, bukan berari pujian itu tidak kembali kepada Allah, bahkan pujian itu layak dikembalikan karena Allah lah yang telah menganugerahkan kebaikan itu kepada kedua nabi tersebut.

Ketiga, hamdu haaditsin li Qadimin pujian makhluk kepada Penciptanya Allah swt. Inilah sejatinya pujian yang senantiasa kita lakukan, baik dalam ucapan kita dengan memperbanyak bacaan hamdalah tersebut juga dalam perbuatan kita, yang mencerminkan syukur atas segala anugerah dan nikmat yang kita dapat.

Keempat, hamdu haaditsin li haaditsin. Pujian dari makhluk untuk makhluk. Kita memuji makhluk Allah yang lain dalam hal kelebihannya memiliki sesuatu. Baik kita memuji karena keilmuannya, karena hartanya, karena kedermawanannya, karena perangainya yang mulia, karena kecantikannya dan hal lain yang bisa dimiliki manusia. Semua pujian-pujian yang kita terima itu haruslah disandarkan kepada-Nya, karena sesungguhnya semua itu berasal dari-Nya dan kapanpun Ia akan mengambilnya manusia harus siap melepasnya.

Karena itu, setiap insan harus menyadari sepenuhnya bahwa sekecil apapun celah pujian yang diterimanya mengharuskan ia mengembalikan pujian itu kepada Allah Sang Pemilik segala puji. Ini mengindikasikan bahwa manusia tidak layak untuk menyandang pujian itu karena mereka hanyalah sebagai wasilah atau sarana yang Allah ciptakan untuk menampung pujian yang berasal dari-Nya.

3. Lafad الحمد لله dalam bahasa Arab merupakan "jumlah ismiyah" atau dalam bentuk kalimat nominal lawan dari kalimat verbal. Penggunaan jumlah ismiyah atau kalimat nomina memiliki implikasi makna yang beragam pula.

Pertama, bentuk tersebut tidak mempunyai waktu khusus. Misalnya kalau dalam bahasa Arab ada waktu lampau, sekarang dan akan datang. Karena tidak ada waktu tertentu pada kata alhamdu tersebut maka waktu yang berlaku bagi kata tersebut adalah mutlak, artinya bahwa pujian itu tidak terbatas oleh adanya waktu sehingga pujian itu akan terus berlaku dari dahulu, sekarang bahkan hingga selamanya. Manusia yang memujinya pun tidak akan pernah luput, semenjak kehadiran manusia pertama hingga terakhir nanti.

Kedua, penggunaan jumlah ismiyah itu adalah bentuk penggunaan orang ketiga. Artinya bahwa, memuji itu memiliki etika dan cara yang ideal. Allah mengajarkan itu dalam bentuk redaksi seperti ini. Jadi kalau ingin memuji yang sebenarnya adalah disaat orang keduanya sebagai penerima objek pujian, tidak ada didepan kita. Itulah pujian yang tulus. Karena bisa jadi orang memuji didepan pelakunya karena motif lain, seperti mencari muka, merasa tidak enak atau karena terpaksa yang akan melunturkan ketulusan memujinya. Saat kita mengucap Alhamdulillah adalah sebagai pernyataan tulus memuji dengan sangat mantap dan khusus.

4. Dalam segi jumlah lafadz Alhamdulillah menggunakan jumlah khobariyah atau kalimat berita.

Penggunaan jumlah khabariyah menjelaskan informasi tentang tetapnya sifat pujian itu hanya milik Allah. Dalam bentuknya itu terdapat beberapa penjelasan :

Pertama, kalau menggunakan kata kerja maka pelakunya hanya terbatas pada orang tertentu misalnya saya memuji, kami memuji sedangkan pertanyaannya bagaimana dengan yang lain?.

Kedua, secara bentuk kata memang bukan berasal dari kata kerja, namun hakikatnya ini adalah bentuk perintah. Perintah yang mencakup semua orang untuk melakukannya. Semua orang wajib memuji Allah dan mengembalikan semua pujian hanya kepada-Nya. Pujian yang tidak dibatasi oleh waktu.

Karena itulah, dari kata الحمد لله ini, dengan susunan dan redaksional yang begitu sempurna mengajarkan kita banyak hal seperti yang telah dipaparkan diatas. Namun yang paling berkesan dari semuanya adalah Allah mengajarkan cara untuk memujinya dengan kata yang begitu singkat namun padat. Kita tidak bisa membayangkan jika tidak dipandu dengan redaksi semacam ini untuk memuji-Nya, padahal memujinya adalah sebuah keniscayaan yang harus dilakukan oleh para hamba-Nya. Kalau kita memuji Allah dengan kata yang sesingkat itu, maka pujian yang kita alamatkan kepada sesama mestinya tidak perlu bertele-tele karena menghindari pujian yang berlebihan yang bukan tidak mungkin menjadikan pujian itu tidak tulus dan racun bagi yang dipujinya.

Selanjutnya, karena pujian itu bersifat mutlak dan tidak terbatas waktu, maka marilah kita memuji-Nya sebanyak kita mendapatkan anugerah dari-Nya. Dari mulai bangun tidur hingga tidur kembali kita sudah diajarkan do'a yang menyertakan pujian kepada Allah. Jika seseorang telah menjiwai makna pujian ini maka saat mendapatkan musibah pun dia akan mampu berkata الحمد لله الذى لا يحمد على مكروه سواه (maha suci Allah, dimana tak ada yang bisa dipuji walau saat merasakan kesusahan, kecuali Dia).

Semoga pujian yang kita haturkan kepada-Nya, membuat kita mampu meneladani-Nya dan selalu menjadi hamba-Nya yang penuh syukur. Amin.