Selasa, 28 Agustus 2012

Free eBOOK..

By : Rijal Muhammad

Silahkan Download beberapa buku yang saya muat untuk menjadi koleksi bacaan Anda :

1. AYAT-AYAT FITNA. Karya M. Quraish Shihab. Download

2. BUAT APA SHALAT. Karangan Haidar Bagir. Download

3. BERIMAN TANPA RASA TAKUT. Karya Irshad Manji. Download

4.
5.
6.

Rabu, 22 Agustus 2012

Jangan MENGANGGAP Allah Seperti Itu,,,

By : Rijal Muhammad Pada prinsipnya, tak satupun seorang Muslim yang mengingkari kemahabesaran dan kemahakuasaan Allah SWT. Dari pemahaman itu, semuanya akan tunduk dan menjadikan-Nya sebagai penolong, pelindung dan tempat mengadukan semua hal yang dirasakannya. Namun, mungkin karena kekurangtahuannya, dia memperlakukan Allah, menganggap-Nya secara salah bahkan perlakuannya itu -tanpa disadari- hingga menjurus kepada kedangkalan aqidah. Akan menjadi sangat naif rasanya, jika pada dasarnya seseorang ingin memuliakan-Nya malah kemudian merendahkan-Nya. Wal iyadzu billah.

Jumat, 17 Agustus 2012

Merevisi Makna dan Tujuan IDUL FITRI

By : Rijal Muhammad

Sebetulnya tidak ada yang salah dengan idul fitri, yang salah adalah cara pandang sebagian masyarakat Muslim, cara menyikapi dan memahaminya yang tidak tepat bahkan keliru sehingga idul fitri yang setiap tahun itu dirayakan menjadi kosong makna dan tujuan dan tidak berdampak apapun bagi perkembangan kepribadian dan spiritualnya.

Pada dasarnya semua ibadah yang dilakukan oleh kita itu bersifat pengulangan, termasuk moment-moment tertentu seperti hari raya idul fitri ini. Sesuatu yang bersifat pengulangan itu memiliki mkana pembiasaan, pelatihan hingga pemantapan. Puasa misalnya, perlu dibiasakan, dilatih dan dimantapkan. Begitu juga dengan ibadah yang lain. Hal itu dimaksudkan agar kita menjadi terbiasa dan mengetahui bahkan menguasainya. Bayangkan jika kita sudah berada dilevel menguasai -dalam hal apapun- pastinya segalanya akan berjalan dengan lancar, mudah dan mengena. Demikianlah sebetulnya yang diharapkan dari semua bentuk ibadah yang kita lakukan secara terus menerus itu.

Nah, idul fitri sudah kita lalui dan rayakan sepanjang umur kita berada. Pertanyaannya adalah membekaskah moment idul fitri tersebut bagi kepribadian, jiwa, mental, emosi dan spiritual kita yang semestinya bisa membawa kita pada keluhuran hidup. Jawabannya ada didalam diri kita semua. Karena itu memahami semua ibadah, bacaan, moment yang selalu kita lakukan mutlak diperlukan.

Kata idul fitri berarti kembali kepada fitrah. Fitrah adalah keadaan penciptaan kita yang suci, bersih dari segala noda dan kesalahan. Karenanya, setiap bayi yang terlahir dari siapapun -termasuk dari orang non-Muslim- hakikatnya adalah suci tanpa dosa tinggal bagaimana orang tua dan lingkungan yang akan membentuknya untuk bisa tetap fitri atau tidak. Penggunaan kata 'id yang berarti kembali mengindikasikan bahwa kita pernah beranjak dan meninggalkan keadaan fitri tersebut, tentunya dengan dosa dan kesalahan yang kita perbuat. Semakin banyak dosa dan kesalahan tersebut, maka akan semakin banyak pula kita menodai nilai-nilai fitri itu. Inilah yang sudah dimaklumi oleh Allah sebagai Khaliq kita yang kemudian Ia mendesain sistem yang membuat makhluknya yang bernama manusia -sebagai makhluk yang banyak salah dan lupa- kembali pada jalurnya yang benar, yaitu suci dari segala kesalahan dan dosa dengan cara melakukan puasa.

Hal ini mudah diketahui, tapi sulit untuk disadari dan menimbulkan niat memperbaikinya. Kalau kesadaran untuk memperbaiki sudah hilang maka sudah bisa dipastikan orang tersebut akan sulit melakukan puasa dan menangkap makna dan rahasia puasa. Jika demikian, maka yang terjadi idul fitri dan ibadah yang dilakukan akan sama sekali tidak memberikan bekas apapun. Dan inilah yang terjadi.

Untuk itulah perlu direnungkan bahwa idul fitri bukanlah untuk mereka yang mempersiapkan segala hal-hal yang baru seperti baju baru, rumah, kendaraan bahkan istri baru. Tapi idul fitri itu diperuntukkan bagi mereka yang ketaatannya setelah Ramadhan semakin baik dan meningkat sesuai dengan bulan syawwal yang dihadapinya ketika itu yang memiliki arti peningkatan. Idul fitri juga akan salah dipahami sebagai hari kemenangan, jika kemenangan yang dimaksud hanya sebatas mampu berpuasa sebulan penuh, melakukan taraweh dan rutinitas yang lazim dilakukan saat Ramadhan kemudian dia berhenti total untuk melaksanakan setelah merayakan idul fitri tersebut.

Dalam rangka memahami dan memaknai idul fitri itu dengan baik, maka kita harus mengubah paradigma berfikir tentang puasa yang sebelumnya kita lakukan.

1. Memahami bahwa puasa itu adalah sebagai riyadhah

Puasa itu adalah sebagai riyadhah, latihan atau penggemblengan. Bulan puasa memang seharusnya bulan penggemblengan dan latihan bagi kita. Penggemblengan fisik supaya menjadi lebih sehat, penggemblengan jiwa sehingga mampu melahirkan sifat simpati, empati, kepedulian sosial, rasa kebersamaan dan lain-lain. Penggemblengan spiritual sehingga dalam kehidupan kita mampu -intinya- menghadirkan Allah dalam setiap ucapan dan perbuatan yang akan membuat kita menjadi mawas diri dalam segala hal. Hal ini mutlak dipahami demi menjaga keberlangsungan dan keseimbangan hidup kita yang lebih baik dunia dan akhirat.

Karena puasa sebagai riyadhah, maka setelah idul fitri itu berlalu kita mampu menjadi "orang-orang yang berpuasa". Artinya, puasa secara praktek jangan samapi ditinggalkan karena disana banyak puasa sunnah yang bisa kita lakukan. Dan yang lebih dari itu, meski kita bukan berada dalam bulan Ramadhan namun amaliyah Ramadhan hendaknya tetap dilakukan terus seperti kebiasaan membaca al-Qur'an, melakukan shalat witir -tanpa taraweh tentunya- berbagi kebahagiaan dengan sesama dengan harta atau apapun yang kita punya dan bisa diberikan, termasuk kebiasaan untuk bangun pagi sebagai persiapan melaksanakan ibadah subuh. Inilah tujuan dari riyadhah atau latihan tersebut.

2. Puasa sebagai ujian pengendalian diri

Puasa dalam bahasa Arab berarti "ashoum" atau "ashiyam" yang berrati "al-imsak" yaitu menahan. Hakikat puasa memang menahan atau bahasa yang lebih populer adalah upaya pengendalian diri. Pengenadalian diri yang dimaksud bukan hanya pada makan, minum dan hubungan intim saja, namun juga yang tak kalah penting mengendalikan nafsu yang berorientasi pada hal-hal yang terlalu berlebih atau negatif.

Pengendalian diri itu mutlak diperlukan oleh makhluk yang bernama manusia. Kemutlakan itu diperlukan karena pada dasarnya manusia memiliki kebebasan penuh untuk berbuat dan menjadi. Manusia bisa menjadi baik bahkan menjadi sangat baik. Manusia pun bisa menjadi jahat bahkan bisa menjadi sangat jahat. Manusia bisa saja kalau mau makan dan minum sepuasnya tanpa larangan. Manusia bebas melakukan ini itu sesuai dengan nafsu dan nalurinya. Tapi yakinlah, bahwa disetiap perbuatan itu berlaku konsekwensinya. Allah menjadikan puasa itu sebagai suatu sistem pengendalian keinginan manusia yang paling efektif dan efisien. Allah mendesain itu karena manusia memiliki kebebasan untuk berbuat hanya saja Dia merangsang otaknya untuk berusaha mengendalikan diri demi terwujudnya keseimbangan tubuh sehingga mampu berbuat lebih baik dan maksimal. Hal semacam ini tidak berlaku pada binatang dan tumbuhan, karena Allah sudah menetapkan sistem dan waktu yang khusus baginya untuk tumbuh dan berkembang.

Maka barang siapa yang mampu mengelola dan mengendalikan dari dari segala nafsu negatif, akan merasakan keseimbangan dan kenyamanan dalam hidupnya.

3. Puasa adalah upaya menghadirkan Tuhan dalam kehidupan

Inilah inti dari segala ibadah yang dilakukan yaitu mampu menghadirkan Allah dalam segenap kehidupannya. Hanya saja puasa memiliki dimensi vertikal yang lebih kuat dari yang lain. Bayangkan saja misalnya semua ibadah mampu dengan menonjolkan dengan kuat sisi lahirnya sehingga timbul rasa pamrih (baca:riya) kepada lingkungan sekitarnya, namun puasa lebih kepada ibadah bathiniyah yang nyaris hanya dia dan Allah yang mengetahui kalau seseorang berpuasa.

Puasa yang dilakukan dengan segenap pemahaman dan penghayatan yang benar mampu menghadirkan sebuah kondisi dimana seseorang merasa selalu dilihat dan diawasi oleh Allah SWT. Keadaan seperti ini akan membuat seseorang akan selalu mawas diri dalam berbuat dan senantiasa berorientaasi kepada-Nya.

4. Puasa adalah pengembaraan

Dalam istilah Agamanya disebut sebagai "assaihun". Yaitu orang-orang yang melakukan pengembaraan. Orang yang melakukan pengembaraan harus memiliki niat dan tujuan yang jelas kemana dia akan melangkah dan menuju. Orang yang mengembara pun harus menghilangkan segala gangguan dan godaan yang bisa menghalangi perjalanannya.

Maka puasa pun demikian. Karena puasa adalah bagian dari hidup ini. Saat kita berpuasa maka niat dan orientasi kita melaksanakannya sudah harus jelas untuk apa dan siapa kita melakukannya. Puasa pun bukan tidak memiliki halangan untuk dilakukan, maka seyogyanya seseorang mampu menyingkirkan segala godaan untuk tidak berpuas demi meraih tujuan hidup yang sejati yaitu menggapai rahmat dan ridho dari Allah SWT.

5. Puasa membentuk manusia taqwa, syukur dan rasyiid.

Pada akhir ayat QS. Albaqarah : 183 dinyatakan bahwa orang yang berpuasa tujuan akhirnya adalah taqwa. Sejatinya kabar tersebut berupa kepastian bukan pengharapan -jika dilihat dari redaksi penggalan ayat tersebut-, karena tidak mungkin Allah memiliki keraguan dalam menyampaikan informasi. Kalau kita terjemahkan secara bebas ayat tersebut akan berbunyi " hai orang yang beriman, kamu perlu puasa seperti orang dahulu juga perlu pada puasa itu, pasti kamu akan bertaqwa. Kata diwajibkan mengindikasikan perlunya puasa itu untuk dilakukan sedangkan kata "pasti" sebagai pengganti kata "agar/supaya" seperti yang sering diterjemahkan.

Taqwa menurut pengertian yang lebih mudah dipahami adalah upaya untuk menjaga diri pada tatanan kehidupan yang benar. Orang yang taqwa akan selalu berada pada hukum yang ditetapkan Allah baik yang tersurat dalam al-Qur'an maupun tersirat yang terdapat dalam alam ini (baca: sunnatullah). Tidak keluar dari hukum Allah yang tersurat berarti melaksanakan seluruh hukum yang dijelaskan al-Qur'an. Dan tidak melanggar hukum Allah di alam berarti melaksanakan segala sesuatu sesuai dengan petunjuk dan proporsionalitasnya. Misalnya, makan yang tidak berlebihan karena jika berlebihan konsekwensinya akan mendatangkan penyakit gula atau diabetes. Belajarlah dengan tekun karena segala sesuatu akan mudah diraih dengan kerajinan dan ketekunan, sehingga bagi yang malas akan sulit menggapai harapan, begitulah seterusnya.

Puasa yang benar akan menghantarkan orang pada level taqwa itu. Namun dalam QS. al-Baqarah : 185 penggalan akhir ayat tersebut adalah menjelaskan tentang kelanjutan level yang harus dicapai bagi orang yang taqwa yaitu yang bersyukur. Bisa jadi ada orang yang taqwa namun syukurnya kurang. Syukur yang dimaksud tidak hanya menerima segala pemberian dengan perasaan senang namun pribadi yang bersyukur juga adalah yang mampu menciptakan atau memberikan nilai tambah dalam kehidupannya. Kehadirannya dengan segala apa yang dimiliki mampu memberikan nilai dan manfaat bagi lingkungannya. Karena itu orang yang bersyukkur akan selalu membawa manfaat bagi yang lain karena ia bukan hanya memunculkan nimat Allah yang diberikan tapi, juga sekaligus berguna bagi lingkungannya.

Kalau dalam taqwa orang berusaha untuk selalu berada pada tatanan hidup yang benar, maka rasyid adalah orang yang telah berada pada lingkaran kebenaran tersebut (to be on the right way). Demikian yang bisa dianalisa dari penggalan ayat terakhir QS. Albaqarah : 186) yang berbunyi "la'allahum yarsyudun". Orang yang mencapai level rasyid saat melakukan segala hal telah mendasarinya pada ajaran dan hukum Allah sehingga saat ia berkata dan berbuat seolah telah berada dalam petunjuk Allah SWT. Dan sekali lagi bahwa keadaan dan kondisi seperti itu bukanlah tanpa usaha, namun melalui tahapan yang panjang dan butuh kesabaran, ketekunan serta kearifan terutama terkait dengan keragaman yang ada.

Demikianlah beberapa upaya dan penafsiran untuk menjadikan hari idul fitri yang kita rayakan setiap tahunnya akan membawa arti bagi kita setelah melaluinya dan mengena bagi kepribadian diri yang lebih baik.

Minal 'aidin wal faizin. Taqabbalallahu minna wa minkum. Kullu 'amin wa nahnu bikhairin. Selamat hari raya IDUL FITRI 1433 H, Mohon maaf lahir bathin.