Sabtu, 01 Januari 2011

Mengenal diri melalui hakikat ibadah

By : Rijal Muhammad

Ada kisah seseorang pada saat ia menghadapi sakratul maut, seolah ia berada didepan sebuah pintu gerbang. Ia ingin masuk kedalam pintu dengan mengetuk pintu gerbang itu. Kemudian setelah itu ada suara dari dalam sambil bertanya ..

"Siapa kamu ?", "Saya udin tuan ". sahut orang ini
Apa itu nama kamu? " Iya tuan, itu nama saya ".
Maaf saya tidak bertanya nama kamu siapa, yang saya tanya " kamu siapa ?"
" Oh... saya anak lurah tuan " jawab lagi orang ini.
Maaf.. Saya engga tanya kamu anak siapa.. yang saya tanya kamu siapa?
Lagi-lagi orang ini menjawab, " oh... saya seorang insinyur tuan ".
Maaf, saya juga tidak bertanya gelar atau titel kamu apa.. yang saya tanya " siapa kamu ?".
Berfikir lagi orang ini sambil agak kebingungan, karena setiap jawaban yang diberikan selalu salah. Merenung sejenak kemudian dia memberikan jawaban yang agak sedikit religius. " Oh saya ini muslim tuan, saya pengikut Nabi Muhammad saw ". dijawab sama orang yang ada dalam pintu gerbang itu, " sekali lagi maaf, saya pun tidak bertanya kamu agama apa dan kamu pengikut nabi siapa, yang saya tanya kamu itu siapa?". Lagi-lagi dibuat bingung orang ini sambil dia berfikir lagi dan memberikan jawaban pamungkas, " saya ini manusia tuan, saya ini sering melakukan sholat, zakat, sedekah saya pun sudah berhaji ". Dijawab sama orang yang ad dalam pintu gerbang, " maaf sekali lagi maaf saya pun tidak tidak bertanya kamu dari jenis apa dan amalan kamu apa, yang saya tanya kamu itu siapa? ". Pergilah orang ini sambil tetap merasa kebingungan, dia terjegal dipintu pertama karena tidak bisa menjawab pertanyaan singkat itu.

Siapa kamu? siapa kita? Pertanyaan singkat dan sederhana namun tidak sesederhana untuk dijawab. Pertanyaan ini mengingatkan kita kepada salah satu hikmah " Man arafa nafsahu faqad arafa rabbahu ", siapa yang mengenal dirinya akan mengenal Tuhannya. Sebuah pertanyaan yang ingin mengungkap siapa sejatinya kita sebagai manusia. Kisah tersebut menjadi pelajaran sekaligus gambaran umum kita sebagai manusia. Biasanya kita pada saat mengidentifkasi diri kita selalu menjawab dengan hal-hal yang serupa pada cerita diatas. Kita lebih tertarik untuk menjelaskan diri kita dengan nama besar, titel atau gelar, profesi, karya atau aktifitas-aktifitas kita. Jawaban-jawaban tersebut ternyata tidak bisa menggambarkan keutuhan atau paling tidak hakikat kita sebagai manusia.

Alangkah naifnya kita memang kalau tidak mengenal diri. Coba bayangkan jika ada seseorang tamu masuk ke sebuah kantor, didalam kantor kemudian melakukan prilaku tak beretika seperti berkata keras atau kasar,tolak pinggang saat berjalan dan tidak pernah permisi dalam melakukan sesuatu didalamnya, maka bagaimanakah reaksi pegawai resmi dalam kantor itu? Marah, kesel, membentak bahkan sampai mengusir. Kalau kita sepakat untuk mengatakan bahwa pegawai kantor itu wajar marah melihat tingkah laku kurang ajar tamu yang tidak tahu diri itu, maka analogikanlah dengan kita yang berada dialam dunia yang diciptakan oleh Allah ini, tapi kita berprilaku "sakarepe dewek", tidak kenal aturan, hukum, melakukan sesuatu atas dasar kepentingan nafsu demi ambisi pribadi, intinya karena kita tidak tahu diri dialam ini, wajarkah kalau Allah memberikan pelajaran -kalau enggan menyebut-Nya marah-kepada kita misalnya dengan menurunkan adzab? Ya... kalau kasusnya sama dengan tamu yang tidak tahu diri itu maka kita juga akan berkata ya.. untuk Allah yang memberikan peringatan kepada kita yang tidak tahu diri ini.

Tahu diri konteksnya antara kita dengan Allah itu sangat penting dalam membentuk pribadi yang sholeh spiritual, emosional dan intelektual. Bagaimana tidak, karena terbentuknya keharmonisan dialam tergantung juga pada seberapa tahu kita tentang diri yang menggabungkan ketiga kesholehan tersebut tadi.Tidak terlalu mudah memang untuk mengidentifikasi sejatinya diri kita, karena bisa jadi setiap individu yang konsen untuk mencari jawaban yang serupa terhadap pertanyaan ini, akan menjumpai dan menemukan cara serta jawaban yang beragam. Namun, pada tulisan ini hanya ingin mengulas tentang makna ibadah yang korelasinya dengan pengejawantahan diri dalam bersikap, berprilaku, bertutur dan lain-lain dalam kehidupan ini.

Berawal dari sebuah kisah seorang tua bernama Unwan yang datang kepada salah seorang zahid imam Ja'far Ashodiq sambil bertanya, " hai Imam, sudikah kiranya engkau jelaskan apa hakikat ibadah itu?". Sang imam menjawab," pertama, dia tidak mengakui apa yang ada dalam genggamannya sebagai miliknya tapi milik Tuhannya. Kedua, perbuatan yang dilakukan hanya berkisar pada menjalankan apa yang diperintahkan Tuhannya dan menjauhi larangan-Nya. Ketiga, dia tidak akan memastikan untuk melakukan sesuatu kecuali setelah ia meminta izin dari Tuhannya ".

Jawaban ini menegaskan tentang posisi atau kedudukan kita yang tak lain sebagai pesuruh-Nya yang memiliki porsi tertentu, dalam menjadi wakil-Nya didunia sebagai kepanjangan tangan dari-Nya. Dalam pertanyaan tersebut dijelaskan tentang hakikat ibadah. Ibadah terambil dari kata dasar 'abada yang memiliki arti taat, menurut, mengikut dan sebagainya. Kita sering menterjemahkannya dengan kata menyembah. 'Abid adalah orang yang menyembah, ma'bud yang disembah. Masih dari akar yang sama abdun berarti hamba semua maknanya akan berkisar pada makna dasar diatas.

Abdun atau 'abd sering kita artikan hamba. Dalam bahasa kita tedapat padanan kata yang menyerupai seperti budak, pesuruh, pembantu, atau yang lebih kasar dari itu jongos. Tidak sepenuhnnya tepat mengartikan kata 'abd dengan padanan kata-kata tersebut karena masing-masing ada kata yang lebih pas dan mendekati maknanya. Namun, semangat kata-kata tersebut yang ingin diungkap pada tulisan ini. Kita memang semua disebut hamba, hamba Allah. Kita rasanya juga pantas untuk menyebut diri kita sebagai "pembantu Allah", "pesuruh Allah", "jongosnya Allah". Tidak perlu malu dan gengsi untuk mengakui itu, karena fakta dan hakikatnya kita sebetulnya seperti itu. Jadi pada saat kita melakukan ibadah, maka sudah tergambar jelas dalam benak dan pikiran kita tentang apa yang kita kerjakan, kenapa kita mengerjakan karena kita sadar siapa kita yang mengerjakan ibadah itu.

Kembali pada jawaban sang Imam tentang perincian hakikat ibadah. Yang pertama beliau menjelaskan bahwa hakikat ibadah adalah tidak mengakui apa yang ada dalam genggamannya sebagai miliknya, tapi milik pihak yang kepadanya dia mengabdi. Seorang hamba memang harus memahami dan menyadari itu dengan baik. Dia akan salah kalau menyatakan bahwa semua yang dipunyai sebagai miliknya. Karena bagaimana mungkin, seorang pembantu yang diserahi rumah, mobil, dan barang-barang yang lain oleh majikannya sebagai miliknya. Dia -pembantu itu- hanya kedapatan memiliki karena dititipi untuk dijaga dan dirawat dengan sebaik-baiknya. Seorang hamba Allah pun demikian, semua yang dia miliki entah berbentuk harta, istri & anak, jabatan jika ia mendudukinya, kendaraan dan lain sebagainya pada hakikatnya adalah sebagai titipan yang seharusnya menjadi mediator yang bisa membuatnya lebih dekat dengan Allah swt. Jika tidak menyadari itu, maka bersiaplah karena semua yang "dianggap miliknya itu" akan menjadi ujian berat atau bahkan fitnah untuknya.

Allah swt menegaskan bahwa semua yang ada dilangit dan dibumi adalah milik-Nya. Meskipun kita berdalih bahwa semua itu kita dapat karena kita upayakan, namun semua itu terjadi juga atas izin-Nya, kita tidak bisa menisbatkannya mutlak pada diri kita. Pemahaman ini sangat perlu, karena terkadang buat sebagian besar kita, sangat tidak siap terutama secara mental pada saat sesuatu yang dia anggap "miliknya" hilang karena sebab tertentu mislanya. Ada yang tidak siap saat terjadi kematian anak atau istri tercintanya. Ada yang menjadi stres berat karena hartanya yang dicari puluhan tahun misalnya habis dirampok. Ada yang menjadi depresi karena tidak bisa lagi mencalonkan diri sebagai orang penting dipemerintahan. Hal-hal senada semacam ini akan menjangkit siapapun yang tidak menyadari bahwa semuanya milik Allah, Allah bisa kapan saja mengambil jika Dia mau dan semuanya hanya akan kembali kepada-Nya.

Pemahaman yang baik tentang kenyataan bahwa semua yang kita miliki hakikatnya adalah milik Allah swt, akan menumbuhkan beberapa sikap positif diantaranya ; tidak sombong, karena bagaimana dia sombong padahal semuanya adalah milik-Nya. Seorang pembantu sopir bagaimana dia merasa sombong dengan mobil yang dkendarai, padahal mobil itu milik najikannya. Amanah, seorang hambapun akan berlaku amanah -semestinya- terhadap semua yang dia miliki. Tanggung jawab, menjaga, merawat dan memanfaatkannya sesuai dengan instruksi yang diberikan. Dia enggan lepas tanggung jawab (khiyanat) dari semua beban yang dimilikinya itu. Ikhlas, kalau suatu saat dia harus berpisah atau kehilangan "miliknya" itu, maka diapun rela dan menerima semuanya terjadi, karena dia meyakini betul bahwa semuanya berasal dari-Nya dan akan kembali hanya kepada-Nya. Ibarat seorang sopir yang rela saat meajikannya ingin memakai atau mengambil mobil yang setiap hari digunakan olehnya.

Point kedua dari hakikat ibadah, yaitu hanya menjalankan apa yang diperintahnkan dan menjauhi semua yang dilarang, juga akan meneguhkan prinsip sang hamba bahwa dia tidak akan membuang waktu sia-sia karena dia memiliki job description yang jelas tentang apa yang patut dikerjakan dan yang tidak. Sedangkan point yang ketiga, yaitu tidak pernah memastikan untuk meminta atau mengerjakan sesuatu kecuali setelah ia mendapatkan izin dari majikannya, akan membuat seorang hamba akan bijaksana dalam menentukan dan mengambil sebuah keputusan. Seorang pembantu yang baik tidak akan pergi dari rumah majikannya kecuali setelah dia memastikan bahwa dia telah dizinkan keluar. Demikian juga seorang hamba, semua pernyataannya, ketetapannya selalu dikaitkan dengan Tuhannya seraya mengucap INSYAALLAH, bahwa semua terjadi atas izin-Nya.

Ada pelajaran penting bagi hamba terkait dengan point ketiga ini. Banyak yang secara sengaja (dengan keangkuhannya) atau tanpa disengaja untuk memastikan terjadinya sesuatu dengan bangganya. " Baiklah besok pasti akan selesai", "tenang saja semua saya yang atur besok", " ah itu si hal sepele biar saya yang akan tanggulangi", ucapan-ucapan yang sudah lazim ini sebetulnya secara tidak langsung telah mendahului izin Tuhan, karena siapa yang bisa memastikan bahwa esok hari yang berkata seperi itu amsih hidup atau tidak. Firman Allah menyatakan ولا تقولن لشيئ إنى فاعل ذلك غدا jangan sekali-kali kamu berkata sayalah yang akan mengerjakannya besok. Seorang hamba akan berupaya bijak dalam menyikapi hal-hal seperti ini, karena penyakit kemanusiaan yang akan segera diberikan pelajaran langsung dari Allah adalah kesombongan.

Dalam akhir tulisan ini, berdasarkan pemaparan yang sederhana, patut kiranya bagi kita untuk mengejawantahkan prinsip demikian karena fakta serta keadaannya mengharuskan kita untuk seperti itu. Tidak malu untuk menyebut diri kita sebagai hamba, budak atau pembantu Allah yang senantiasa bertugas (beramal) demi karena-Nya karena Ia telah bebrbuat baik kepada kita. Karena itu, kita juga harus menjunjung tinggi sifat profesionalitas kehambaan kita disisi-Nya dengan cara :
1. Mengetahui semua tugas dan kewajiban kita dengan baik agar kita tahu bagaimana kita berbuat.
2. Melakukan tugas dan kewajiban itu dengan penuh tanggung jawab (amanah, tidak pernah melalaikan dan menyianyiakannya.
3. Siap mempertanggungjwabkan semua perbuatan yang telah kita lakukan, sebagai bukti bahwa kita telah mempersembahkan yang terbaik.

Demikian semoga menggugah kita untuk selalu lebih baik...