Senin, 02 April 2012

Mengenal KELEMAHAN Manusia Dalam al-Qur'an

By : Rijal Muhammad

Manusia memang diciptakan Allah sebagai makhluk yang terbaik dari segi penciptaannya. Manusia di anugerahi akal dan nafsu yang karenanya bisa membawanya pada kebahagiaan termasuk juga pada kesengsaraan, baik di dunia terutama di akhirat. Dalam kesempurnaan penciptaan manusia, terselip juga celah kelemahan dan kekurangan manusia yang harus dipelajari, diketahui dan diantisipasi. Tidak mampu mengenali kelemahan diri akan berakibat fatal yaitu akan menghantarkannya pada konsekwensi kedua diatas, yaitu kesengsaraan. Terkait dengan kesengsaraan inilah, tulisan ini dibuat untuk menjadi i'tibar dan renungan bagi pribadi-pribadi yang masih menganggap dirinya pintar namun sebetulnya bodoh. Yang menganggap dirinya benar padahal salah. Yang menganggap dirinya banyak berbuat namun dimata Tuhannya sama sekali tidak. Mengetahui kelemahan akan menjadi kontrol bagi seseorang dalam berucap dan bertindak, termasuk kesadaran yang harus dibangun demi menutupi atau memperbaiki kekurangan itu. Semua kelemahan-kelemahan manusia itu langsung disampaikan oleh Dzat Yang Menciptakan manusia itu sendiri, yaitu Allah swt.

Kelemahan-kelemahan manusia yang diberitahu oleh Allah itu lebih kepada sifat, sikap atau prilaku manusia itu sendiri. Dan sebetulnya kelemahan-kelemahan itu bukan tidak bisa untuk diantisipasi (baca: dihindari dan diperbaiki), namun bisa tidaknya itu bergantung bagaimana kemampuan manusia dalam mengelola akal dan nafsunya. Mengelola akal dan nafsu sekaligus membutuhkan usaha keras supaya berada pada jalur yang diridhoi-Nya. Inilah yang membedakan kita -manusia- dengan malaikat dan iblis.

Semua sifat-sifat yang menjadi titik lemah negatif manusia tidak hanya dimiliki oleh kaum Muslim, meskipun semua keterangan itu berasal dari al-Qur'an. Tapi siapapun manusianya akan tercakup oleh sifat-sifat ini tanpa terkecuali. Diantara sifat-sifat itu :

1. وَلَئِنْ أَذَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنَّا رَحْمَةً ثُمَّ نَزَعْنَاهَا مِنْهُ إِنَّهُ لَيَئُوسٌ كَفُورٌ (QS. Hud : 9)

Dan jika Kami rasakan kepada mereka suatu rahmat (baca: nikmat) dari Kami, kemudian rahmat itu Kami cabut darinya, pastilah dia berputus asa dan tidak tau berterima kasih. Demikian arti ayat diatas. Ayat ini terkait dengan sifat negatif manusia tersebut, sungguh sangat nyata yang bisa kita saksikan atau bahkan kita rasakan sendiri. Pada saat kita dianugerahi rahmat atau karunia dari-Nya, kita merasakan kegembiraan yang sangat, bahkan melebihi batas kewajaran termasuk berbangga-bangga dengan aneka nikmat tersebut. Mereka tidak menyadari bahwa Allah -kapanpun Dia mau- akan mengalihkan satu keadaan ke keadaan lain. Dari positif ke negatif, dari senang ke susah, dari untung ke rugi, dari kaya ke miskin, dari semua yang serba mudah hingga merasakan betapa sulitnya membuat mudah sesuatu yang pada saat mudah hal itu dianggap remeh.

Orang yang tidak menyadari hal itu, karena mungkin dia tidak menghadirkan Allah saat mendapatkan nikmat, akan sangat mungkin dihinggapi sifat putus asa dan terkesan tidak pernah tahu berterima kasih. Putus asa melambangkan bahwa seseorang tidak punya mental yang kuat dalam menghadapi segala musibah. Seolah tidak menyadari perubahan hidupnya dari yang serba mudah dan mewah menjadi susah dan hina, hingga akhirnya membawa dirinya menjadi orang yang menyalahkan banyak pihak termasuk mempersalahkan Tuhannya. Dia memprotes Tuhan mengapa ini ditimpakan kepadanya. Mengapa Tuhan begitu kejam hingga memberikan musibah seberat ini. Dan aneka tuduhan lain yang mengesankan bahwa ia seperti orang tidak tahu diri dan berterima kasih. Bukankah Allah masih memberikan nikmat lain yang tidak kalah besar dan penting dengan yang hilang itu ? Inilah kesalahan manusia dalam menyikapi rahmatnya yang hilang yang mampu membuatnya menjadi orang putus asa dan tidak tahu berterima kasih.

Allah menegaskan dalam lanjutan ayat diatas bahwa yang mampu menghalau dan menyikapi secara baik atas kasus demikian adalah, orang-orang yang sabar dan selalu melakukan amal kebajikan. Karena bagi merekalah ampunan dan ganjaran yang besar yang dianugerahi oleh Allah swt.

2. إِنَّ الْإِنْسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ (QS. Ibrahim : 34)

Arti secara lengkap ayat diatas adalah "Dan Dia telah menganugerahkan kepada kamu dari segala apa yang kamu pinta. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, nisacaya tidak akan bisa menghitungnya. Sesungguhnya manusia sangat dzolim dan kufur". Dzolim dan kafir atau kufur adalah penyakit yang sangat mudah dilakukan manusia. Bukankah bapak kita Adam as, diturunkan dari jannah ke bumi karena ia telah berlaku dzolim kepada dirinya dengan melanggar perintah Allah. Dzolim adalah menempatkan atau melakukan sesuatu yang bukan semestinya. Memang perbuatan dzolim itu terkait dengan perbuatan-perbuatan maksiat yang dilakukan manusia, baik kemaksiatan itu kepada Allah atau kepada sesama.

Dalam konteks ayat ini, perbuatan dzolim itu menyangkut perilaku manusia yang menghalangi orang lain memperoleh haknya, atau mengambil melebihi dari yang semestinya dia ambil, atau melakukan tabdzir yaitu menyianyiakan sesuatu. Semuanya berkaitan erat dengan nikmat yang Allah berikan. Coba bayangkan berapa banyak makanan orang-orang kaya yang tersisa kemudian terbuang percuma disaat begitu banyak orang lain merasakan kelaparan. Coba lihat berapa milyar mungkin anggaran yang disiapkan oleh negara untuk memproduksi senjata, padahal jika dana itu dialokasikan untuk membantu negara miskin akan sangat berarti dalam menanggulangi kemiskinan itu dan merasakan hidup yang lebih layak. Ini bagian dari sifat dzolim. Dan sifat dzolim ini sejalan dengan sifat kufur yaitu sangat mengingkari dan mensyukuri nikmat Allah.

Andai setiap orang kaya mau mengeluarkan zakat dan sedekahnya. Andai setiap orang enggan untuk korupsi atau enggan mengambil yang bukan haknya. Andai setiap orang punya kesadaran untuk berbagi dengan sesama yang kurang beruntung. Andai setiap orang yang dipercaya memimpin bangsa ini begitu amanah dan tanggung jawab pada rakyatnya, niscaya kemajuan dan kemakmuran bisa tercapai. Namun berharap demikian -apalagi dizaman seperti sekarang ini- seolah menjadi sulit kalau kita enggan berkata mustahil.

Namun sebagai manusia, perbuatan dzolim dan kufur nikmat itu bukan sebagai jalan akhir yang tidak ada ujungnya. Betapapun manusia sedemikian durhakanya kepada Allah, sesungguhnya Dia masih membuka pintu pemaafan bagi mereka dan tetap mencurahkan rahmat-Nya. Yang penting, menyadari kedzoliman yang pernah dia lakukan sambil berdoa seperti doanya nabi Adam " Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mendzolimi diri kami, jika Engkau tidak mengampuni kami dan merahmati kami, niscaya kami menjadi makhluk-Mu yang rugi".


3. خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ نُطْفَةٍ فَإِذَا هُوَ خَصِيمٌ مُبِينٌ (QS. Annahl : 4)

Arti ayat ini adalah bahwa "manusia diciptakan dari air mani, kemudian tiba-tiba ia jadi pembangkang (pembantah) yang nyata". Tafsiran ayat ini memang menjelaskan tentang bangkangan atau bantahan sebagian manusia tentang hakikat dirinya, Tuhannya serta keras kepala dalam menghadapi siapapun. Mereka membantah tentang keesaan Allah. Mereka membantah adanya hari kebangkitan. Mereka mempertanyakan siapa yang menghhidupkan tulang-belulang yang sudah berserakan ini?. Dia tidak menyadari bahwa dirinya juga hidup berasal dari setetes mani yang sangat remeh dan menjijikkan jika dilihat dari keadaan zahirnya.

Sifat membangkang, menentang atau membantah ini juga sebetulnya tidak tertuju kepada Tuhannya saja, namun juga berlaku umum yang bisa disaksikan dalam kehidupan masyarakat. Banyak pihak, baik secara sadar maupun tidak, baik secara terlihat maupun tersembunyi, yang enggan menerima kebenaran. Dia asyik dengan idealismenya yang egois dan hampa itu. Memang sifat membangkang itu merupakan ciri orang yang tidak tahu diri. Dan parahnya lagi bahwa pembangkangan itu sudah menjadi nyata, artinya bahwa prilakunya itu dilakukan tanpa merasa khawatir atau takut dinilai negatif oleh orang lain. Maka untuk mengekang prilaku negatif ini, seseorang hatus tahu dari apa dia berasal, untuk apa ia dicipta dan akan kemana ia setelah tiada. Pertanyaan-pertanyaan yang seharusnya dikaji oleh siapapun agar memahami makna hidup lebih dalam.


4. وَكَانَ الْإِنْسَانُ عَجُولًا (QS. Alisra : 11)

Terjemahan secara lengkap ayat ini adalah "Dan manusia berdo'a untuk kejahatan sebagaimana ajakannya untuk kebaikan. Dan manusia itu bersifat sangat tergesa-gesa. A'jul berarti mengharapkan sesuatu yang belum sampai waktunya. Karenanya, ajul juga berarti sifat tergesa-gesa, buru-buru, melakukan secara cepat karena dorongan nafsu dan tanpa perhitungan, tidak sabaran dan mengharap sesuatu secara instan.

Sifat yang satu ini begitu sangat kentaranya ditengah kehidupan kita. Beragam orang dengan segala harapan dan ekspektasinya yang dilakukan dengan penuh ketergesaan. Yang ingin bekerja baik swasta maupun negeri, melakukan suap sana suap sini. Yang ingin menikah tidak menunggu persiapan yang lebih matang, baik mental dan keuangan hingga melakukan "hubungan" yang lebih awal tanpa ikatan. Yang ingin sukses dan kaya bukan melakukan usaha giat dan sungguh-sungguh, tapi melakukan kongkalikong dengan cara korupsi dan bagi-bagi "kue". Yang ingin memiliki nama dan ketenaran melakukan jalan pintas dengan mengorbankan segala cara termasuk eksploitasi tubuh. Ini beberapa kasus dari sifat ketergesa-gesaan manusia. Jelas bahwa contoh-contoh tersebut tidak bisa dibenarkan, karena Allah swt selalu mengajarkan kepada kita untuk melakukan sesuatu dengan melalui proses. Apa contohnya, misalnya saat Allah ingin menghendaki sesuatu untuk terjadi, Dia berfirman "كن فيكون". Yang bisa kita pelajari dari ayat ini bukan seperti bim salabim abrah kadabrah begitu diucap langsung ada. Tapi kata "fa yakuunu" disitu mengandung masa istiqbal atau yang akan datang sehingga mafhumnya adalah bahwa segala sesuatu yang tercipta juga membutuhkan waktu untuk terjadi. Bukan Allah tidak mampu untuk langsung mengadakannya, tapi sekali lagi, Allah ingin menekankan kepada prosesnya yang patut diketahui dan dihayati oleh makhluk-Nya terutama manusia.

Karena sedemikian pentingnya proses itu, maka kita harus menyikapinya dengan penuh kesabaran. Karena saat kita tidak berproses dalam hal apapun, berarti kita akan menyalahi sunnatullah yang berlaku umum ditengah kehidupan ini dan akan mengantarkan kita pada kehinaan dan ketidakmatangan. Ingatlah bahwa perlahan yang menghantarkan pada keberhasilan itu datang dari Allah sedangkan ketergesaan yang didasari nafsu dan tidak penuh pertimbangan sehingga mengantarkan orang pada keburukan berasal dari syetan.

5. وَكَانَ الْإِنْسَانُ قَتُورًا (QS. Alisra : 100)

Terjemahan yang lengkap dari penggalan ayat diatas adalah, "katakanlah, kalau seandainya kamu menguasai perbendaharaan rahmat Tuhanku, niscaya kamu tahan karena takut mebelanjakannya. Dan manusia itu sangatlah kikir. Ayat ini sebenarnya menjelaskan pengandaian makhluk, bahwa mereka jika memiliki kekuasaan untuk menurunkan rahmat berupa rezeki kepada yang lain maka rahmat berupa rezeki itu akan ditahan. Kenapa? karena watak mereka sebenarnya pelit. Namun ayat ini hanyalah pengandaian yang tidak mungkin terjadi dalam kenyataannya karena dalam ayat ini menggunakan kata "لو" untuk menunjuk makna kemustahilan.

Pelit itu menjadi tanda kelemahan manusia. Karena mereka pelit maka mereka akan merasa sayang untuk membelanjakannya atau membagikannya kepada yang lain. Kalau manusia diberi kuasa untuk itu (baca: menurunkan rahmat berupa rezeki) sedangkan mereka bersifat pelit maka akan "jomplanglah" kehidupan ini. Kata "qaturan" pada ayat ini berarti sifat bakhil sampai pada menahan sesuatu untuk diberikan meskipun sesuatu itu merupakan keperluannya. Kita bisa menyebut bakhil kuadrat karena yang semestinya ia keluarkan pun karena merupakan keperluannya juga ditahnnya. Memang bisa jadi dalam logikanya orang yang pelit, bahwa sesuatu yang didapat secara susah dan berat tidak harus keluar secara cepat apalagi bukan untuk kepentingan dirinya. Mungkin sebagian bisa memaklumi, tapi kalau sudah menahan untuk memberi padahal itu merupakan kebutuhan dan tanggung jawabnya, patut juga dipertanyakan. Allah swt mengajarkan kepada kita untuk tidak bersifat terlalu bakhil namun juga jangan terlampau royal karena keduanya akan menimbulkan kehinaan dan kesusahan. Dalam lgika Agama, seseorang tidak usah terlalu bakhil karena harta dan semua yang dia keluarkan hakikatnya untuk simpanan dirinya dan harus meyakini bahwa ditengah rezeki yang dikeluarkan akan menanti rezeki lain yang telah dipersiapkan Allah. Maka keyakinan kita bahwa semua rezeki itu diatur oleh Allah swt, akan membuat kita lebih bijak dalam mencari dan membelanjakannya karena Allah Yang Maha Kaya dan Memberi.

7. وَكَانَ الْإِنْسَانُ أَكْثَرَ شَيْءٍ جَدَلًا (QS. Alkahfi : 54)

Dan sesungguhnya Kami telah mengulang-ulang untuk membuat macam-macam perumpamaan bagi manusia didalam al-Qur'an ini. Dan manusia itu adalah makhluk yang paling banyak membantah. Kata yang paling banyak membantah mengesankan bahwa ada makhluk lain yang juga melakukan kegiatan yang sama namun manusialah yang paling banyak. Sejatinya, banyaknya perumpamaan yang dibuat Allah dalam al-Qur'an itu menjadi nasihat dan peringatan sehingga kita menyadari sepenuhnya hal-hal yang diperumpamakan itu. Namun begitulah karakter manusia, bukannya mengambil pelajaran malah melecehkan dan membantahnya.

Gambaran karakter ini memang tidak semua orang melakoninya. Tapi semua orang pun punya kesempatan yang sama untuk bisa melakukannya. Pernahkan Anda mendengar pernyataan orang, "untuk apa sih sholat itu..? mereka yang sholat pun tidak merubah sifat buruknya malah lebih baik saya meski tidak sholat tapi tidak jahat sama orang". Atau ucapan yang lain, "untuk apa sih babi diharamkan..? karena yang terbiasa makan babi pun dampaknya tidak seseram yang diinformasikan". Atau mungkin ucapan yang ini, " kenapa sih berzina diharamkan..? padahal kami melakukannya senang sama senang dan satu dengan yang lain tidak ada yang merasa dirugikan". Masih banyak jenis dan contoh bantahan yang bisa dilakukan oleh manusia. Kalau ajaran-ajaran Allah saja dengan sangat berani dan tegas membantahnya maka sudah bisa dibayangkan jika dengan sesamanya.

Membantah yang merupakan karakter manusia bisa jadi didasari karena manusia itu memiliki akal dan nafsu. Setiap akal dan nafsu seseorang pada dasarnya menginginkan arah tertentu sesuai kemauannya. Pada saat kemauannya itu berbenturan dengan kemauan orang lain -baik secara pribadi ataupun dalam kelompoknya- maka sifat dasar itu akan menuntut haknya yang terbelenggu maka jadilah dia membantah. Tapi ingat, bahwa selain akal dan nafsu, manusia juga dikaruniai hati. Akal untuk mengarahkan keinginan, nafsu untuk memperkuatnya dan hati untuk merenungi, mengarahkan dan menentukan baik buruknya. Kalau hanya akal dan nafsu tanpa melibatkan hati maka yang terjadi adalah segala keinginan yang belum tentu baik buruknya. Sebagai makhluk yang dianugerahi memiliki kemauan dan keinginan, maka Allah memberikan rambu-rambu-Nya dalam al-Qur'an agar keinginan tersebut tidak mengarah pada keburukan dan kesesatan. Maka jika keinginan kita berbenturan dengan kemauan Allah, maka stop berbantah dan patuhilah ajaran-Nya, karena itu yang terbaik. Hanya yang benar-benar ber-Islam yang akan sanggup berkata "sami'na wa atha'na".

8. لَا يَسْأَمُ الْإِنْسَانُ مِنْ دُعَاءِ الْخَيْرِ وَإِنْ مَسَّهُ الشَّرُّ فَيَئُوسٌ قَنُوطٌ (QS. Fussilat : 49)

Manusia biasanya tak pernah merasa jenuh untuk berdo'a mengharapkan kebaikan, namun saat ditimpa keburukan lalu begitu mudah putus asa dan hilang harapan. Demikian kurang lebih terjemah ayat ini.

Setiap orang memang selalu mengharapkan kebaikan atau kesenangan untuk dirinya, karenanya dia berdoa. Berdoa mengharapkan kesehatan, keluasan rezeki, kelancaran dalam berkarir, keharmonisan rumah tangga dan sederet harapan lain yang dia panjatkan. Karena memang Allah Maha Mengabulkan do'a, dia pun meraih apa yang dia pinta itu. Merasa senang dan bahagia karena segala harapan banyak terwujud. Namun kekurangannya sebagai manusia membuatnya tidak siap pada saat kesenangan dan kebahagiaannya itu hilang atau lenyap darinya. Dimulai dari menderita sakit, karir yang bermasalah, rumah tangga yang mulai goyah, kehilangan kendaraan dan sebagainya, yang merupakan musibah atau keburukan yang dialaminya. Maka tatkala menghadapi hal-hal semacam itu, orang biasanya cepat dilanda putus asa baik dari keengganan untuk memperbaiki diri dan merintis kembali nikmat yang raib itu, maupun keengganan untuk mengharap rahmat Allah yang begitu luas.

Rasa putus asa yang nampak kala seseorang tak siap menerima musibah dan keburukan yang dirasakannya itu, ditandai dengan sifat malas dan cenderung pasrah tanpa banyak berbuat. Kemalasannya itu juga nampak dengan tidak ada gairah melaksanakan ibadah seperti ketika dia berada dalam kesenangan. Ibadah dalam bentuk do'a dan sholat seolah tak menjadi senjata ampuh untuk keluar dari masalah, bahkan ada yang menduga sholat sudah tak lagi membawa manfaat karena hanya menghambat orang melakukan aktifitas. Saat seseorang sudah merasakan ibadah tidak lagi nikmat untuk dikerjakan, berdoa, sholat dan ibadah lain sudah tidak lagi penting baginya, sesungguhnya pada keadaan demikian itu merupakan jarak terjauh antara dirinya dengan Allah. Karena apa bedanya dia dengan orang musyrik yang mempunyai keyakinan dan kepercayan lain selain Allah. Apa bedanya dia dengan kaum atheis yang tidak lagi mengganggap keberadaan Tuhan dalam kehidupan. Maka berawal dari sifat putus harapan dan rahmat dari Allah ini akan menghantarkannya meraih keburukan dan kesesatan yang sebenarnya.

Allah mengingatkan dalam kalam suci-Nya, bahwa janganlah kita terlampau sedih dan meratapi atas apapun yang hilang dari kita seperti kita juga jangan terlampau senang hingga lupa daratan karena mendapat semua hal yang membahagiakan. Allah mengajarkan jalan tengah dalam menghadapi kebahagiaan dan kesedihan. Karena perinsipnya tidak ada kebahagiaan yang abadi di dunia ini seperti tidak abadinya kepedihan dan kesusahan. Bahkan kalau kita mau jujur, sejatinya nikmat dan rahmat Allah yang kita rasakan lebih banyak dan lebih lama kita ketimbang kepedihan dan keburukannya. Semuanya berasal dari Allah maka saat ada dan tiada pun semestinya kita mengaitkannya hanya kepada-Nya.

9. إِنَّ الْإِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوعًا (QS.Alma'arij :19)

Manusia diciptakan berkeluh kesah. Jika ditimpa kesusahan maka mengeluh dan jika diberi kenikmatan maka menjadi kikir. Lagi lagi, ayat yang menyebut sifat negatif mausia ini mengaitkannya dengan sikap manusia itu terkait dengan kenikmatan (baca: kemudahan dan kesenangan.

Fenomena keluh kesah bagi manusia bisa jadi pernah dikatakan atau dirasakan oleh setiap orang. Kalau kita mau introspeksi mungkin dalam sehari berapa kali kita telah mengucapkan nada-nada bahkan ucapan mengeluh itu karena keadaan atau masalah yang kita alami. Mulai dari hal-hal umum, semisal, pagi hari yang terlihat mendung, siang hari yang begitu terik, jalanan yang terlihat macat, gaji yang telat ditransfer, anak yang memiliki kemauan yang aneh-aneh dan seterusnya. Semua keadaan dan masalah hampir bisa dikeluhkan.

Mengeluh mengindikasikan bahwa seseorang tidak siap menghadapi keadaan atau masalah yang sedang terjadi. Padahal, baik mengeluh atau tidak tidak akan serta merta merubah keadaan atau masalah itu kalau tidak diusahakan atau disikapi dengan baik. Mengeluh yang berlebihan akan mendatangkan murka Allah swt, karena segala yang terjadi, entah itu baik atau buruk pada dasarnya terjadi atas izin-Nya. Seolah-olah orang yang mengeluh itu seperti tidak terima dan ridho pada apa yang Allah telah tetapkan. Kalau bahasa sederhananya, orang yang mengeluh adalah orang yang serba salah. Dia tidak bisa melihat sisi baik dari sesuatu padahal pada orang yang bersikap arif dan penuh kebijaksanaan, ada sesuatu yang baik dari sesuatu yang buruk.

Mengeluh memang sifat asal manusia. Namun demikian, bukan berarti manusia tersebut tidak bisa mengobatinya. Allah menjelaskan dalam lanjutan ayat tersebut, bahwa hanya orang yang sholatlah yang akan terhindar dari sifat ini. Benarkah? banyak orang yang sholat tapi mengeluhnya tidak berhenti. Memang, namun sholat yang dijelaskan Allah adalah sholat yang dilakukan secara kontinyu dan istiqamah, maka orang-orang yang melakukan ini akan mampu untuk tidak mengeluh atau paling tidak seandainya dia mengeluh, dia akan menyikapinya dengan wajar dan biasa saja, sehingga tidak menjadi beban dalam menghadapi kehidupannya.

Bagaimana bisa orang yang sholat terus menerus akan menjadikannya tidak mengeluh?. Inilah pertanyaannya. Pahamilah bahwa mengeluh tanda orang tidak bisa menerima hal-hal yang tidak sesuai dengannya. Mengeluh adalah tanda orang yang tidak ikhlas dengan apa yang terjadi terutama menyangkut dirinya. Mengeluh sejatinya adalah tanda bahwa orang tidak bersyukur atas apa yang menimpanya. Sedangkan sholat adalah bentuk implementasi rasa syukur kita kepada Allah swt. Sholat adalah upaya pengagungan kita kepada Dzat Yang Menentukan semua keadaan makhluk-Nya. Maka yang menjalani sholat dengan penuh konsisten dan istiqamah akan terjaga dari sifat mengeluh itu.
10. كَلَّا إِنَّ الْإِنْسَانَ لَيَطْغَى (QS. Al-'alaq : 6)

Sama sekali tidak, sesungguhnya manusia itu sungguh melampaui batas. Maksud dari sama sekali tidak, menegaskan bahwa pelampauan batas itu tidak diperkenankan. Kenapa manusia ingin melampaui batas, karena dia melihat dirinya merasa cukup seperti yang dijelaskan pada lanjutan ayat diatas.

Merasa cukup adalah modal besar bagi seseorang untuk melampaui batas. Sifat merasa cukup tersebut, bisa jadi karena kepemilikan harta yang tak terhingga atau bisa jadi karena kedudukan, jabatan serta kekuasaan yang memeiliki wewenang untuk menginginkan dan melakukan sesuatu. Tanpa batas, demikian kata yang pantas untuk menggambarkan orang yang melampaui batas tersebut. Lihat saja misalnya, ada orang yang memiliki keluasan harta membangun rumah seluas 2 hektar padahal memiliki anak cuma satu-satunya. Mungkin sebagian Anda akan berkata, itu hak dia dong. Ya, kalau dari segi hak kita tidak punya alasan untuk menyalahinya. Tapi dari segi kenyataan bahwa manusia kala punya uang berlimpah sifat melampauai batasnya akan muncul. Lihat juga misalnya, orang yang memiliki harta berlimpah mampu menghimpun istri lebih dari empat, padahal Allah swt telah membatasinya dengan jumlah maksimal 4 wanita. Masih banyak lagi kasus orang yang memiliki keluasan harta kemudian melakukan hal-hal yang melampauai batas.

Dari sisi kekuasaan dan kedudukan tinggi, seseorang mampu menggunakan kekuasaannya itu untuk melancarkan maksud dan tujuannya. Dia -dengan kekuasaannya- mampu meraup uang yang melebihi dari batas atau standar penghasilan yang telah ditentukan. Dengan kekuasaan ia mampu "menghabisi" orang-orang yang tidak sejalan dengannya. Masih dengan kekuasaan, orang bisa mendobrak tataran nilai, hukum, tradisi yang telah berjalan bahkan baku.

Kedua hal ini, sekali lagi, menjadi modal bagi seseorang untuk melakukan tindakan melampauai batas tersebut. Memang tidak semua orang yang punya harta berlimpah dan kekuasaan yang tinggi pasti akan melampauai batas. Hanya orang-orang yang berbekal pengetahuan dan keyakinan bahwa segalanya akan berakhir dan kembali kepada Allah lah yang mampu mengendalikan harta dan kekuasaan sehingga dia mampu berbuat tanpa melampaui batas. Sesungguhnya hanya kepada Tuhanmulah tempat kembali. Demikian lanjutan dari ayat-ayat sebelumnya.

11. إِنَّ الْإِنْسَانَ لِرَبِّهِ لَكَنُودٌ (QS. Al-'adiyat : 6)

Sesungguhnya manusia sangat ingkar kepada Tuhannya. Keingkaran ini terkait dengan ketidak pandaian manusia dalam bersyukur atas seluruh nikmat yang diperoleh. Pertanyaan yang patut kita kemukakan adalah, mengapa manusia bisa ingkar atau tidak mensyukuri apa yang dianugerahi Allah?. Jawaban yang bisa kita kemukakan adalah bisa jadi karena orang itu menganggap bahwa apa yang bisa diraihnya itu adalah semata karena usaha dan upayanya. Semua kesuksesan dan keberhasilan terkait dengan kemudahan mencari karunia Allah, tidak dilandasi dan mengaitkan Allah swt sebagai Yang Maha Pemberi.

Alkanud sendiri sebenarnya beararti terputus atau tandus. Maksudnya memutus aliran nikmat itu dengan cara tidak disyukuri dan menahan untuk memberi yang berhak karena kuatnya sifat bakhil. Imam Hasan al-Basri berkata :

الْكَنُود هُوَ الَّذِي يَعُدّ الْمَصَائِب وَيَنْسَى نِعَم اللَّه عَلَيْه
“al Kanud adalah orang yang selalu ingat dan menghitung musibah yang menimpa dirinya, namun dia lupa atau melupakan diri terhadap nikmat Allah yang diberikan kepadanya.

Karenanya, pemahaman dasar tentang Allah sebagai Dzat Pemberi rizki haruslah ditanamkan dalam pemikiran kita. Usaha yang kita lakukan adalah hanya sebagai wasilah bagi kita untuk meraih rizki-Nya. Maka sudah sepatutnya kita tidak usah khawatir pada saat kita mengeluarkan harta kita untuk tujuan berbagi kepada yang berhak, karena didalamya penuh dengan kebaikan dan kebajikan dan pastinya janji Allah bagi orang-orang yang menginfakkan hartanya di jalan-Nya dengan ganjaran yang berlipat.
Kesimpulan dari tulisan ini adalah sebagai berikut :

1. Dalam semua ayat yang menjelaskan kelemahan sifat manusia, Allah memilih kata al-insan. Padahal dalam kosa kata al-Qur'an ada beberapa kata yang berarti manusia juga seperti annas atau albasyar. Penyebutan kata insan karena menujurus kepada manusia sebagai makhluk psikis yang memiliki mental sikap dan karakternya. Hal ini memungkinkan karena semua kelemahan yang disebut al-Qur'an tersebut lebih menitikberatkan kepada sikap, sifat dan karakter mereka. Kalau demikian, maka sebetulnya semua sifat dan karakter tersebut bisa diantisipasi dan diperbaiki. Karena memang tidak semua orang memeiliki sifat kelemahan-kelemahan tersebut, tidak memiliki bukan karena mereka tidak punya potensi untuk memiliki kelemahan tersebut tapi mereka adalah orang-orang yang mengetahui kelemahan tersebut serta bahayanya, kemudian mereka mengantisipasinya dalam arti menghindari dan atau memperbaikinya supaya kelemahan tersebut tidak menjadi wataknya yang menyatu dengan dirinya.

2. Hampir seluruhnya, ketika Allah menyebut sifat negatif manusia menggunakan wazan/bentuk "فعول" yang kalau dalam ilmu bahasa Arab disebut dengan shigat muballaghah. Sighat muballaghah mengandung arti ke-sangat-an tentang sebuah sifat atau pekerjaan yang dilakukan sehingga bisa disebut orang yang sangat terbiasa mengerjakannya. Contoh, نائم yang berarti orang yang tidur sedangkan نوّام adalah tukang tidur. Makna contoh yang pertama sudah biasa sedangkan yang kedua ada penguatan makna yaitu bahwa orang tersebut sangat sering sekali tidurnya. Nah, dari semua sifat negatif manusia yang Allah sebut itu menggunakan sighat muballaghah, itu berarti bahwa manusia itu sedemikian kuatnya dengan sifat-sifat tersebut sehingga memang perlu usaha yang keras untuk menghindarinya.

3. Jika kita amati, sifat negatif manusia yang dijelaskan oleh Allah itu berkaitan dengan sikap manusia dengan nikmat Allah yang diberikannya. Kebanyakan sifat negatif tersebut muncul saat nikmat itu hilang atau tidak dirasakannya lagi karena berbagai hal. Pelajaran bagi kita, hendaknya bersikap normal, wajar dan tidak terlampau sedih juga pada saat kehilangan sama halnya juga tidak terlampau senang saat punya karena siklus yang abadi adalah ada saat punya dan ada saat tiada. Kita juga harus meyakini bahwa yang kita terima hakikatnya adalah sebuah titipan dan pemberian, sehingga ada dan tiada, banyak atau sedikit mampu kita sikapi dengan benar.

4. Semua kita diberitahu oleh Allah tentang kelemahan kita. Pengetahuan tentang itu semestinya membuat kita harus kuat dalam arti berusaha untuk tidak memiliki sifat yang menjadi titik lemah kita. Kalau justru sebaliknya, sudah memiliki kelemahan kemudian tidak ada upaya untuk memperbaikinya, malah semakin lemah, maka bahaya yang paling nyata adalah menjadi celah paling empuk untuk memberikan syetan masuk kedalam jiwanya. Ada 4 arah dimana syetan bisa merasuk kedalam jiwa kita, depan, belakang, kanan dan kiri. Dari depan syetan bisa menggoda kita dengan hal-hal yang berbau masa depan. Syetan meniupkan api keraguan agar manusia tidak memiliki harapan yang cerah dimasa mendatang. Atau kalaupun ingin meraih masa depan yang cerah syetan meniupkan cara-cara yang salah dan sesat demi meraih kehidupan yang menyenangkan. Dari arah belakang syetan memunculkan api memori dan kejadian-kejadian traumatik yang pernah terjadi, sehingga selalu ada keraguan bagi manusia untuk bisa bangkit dan maju sehingga lahirlah generasi-generasi yang lemah dan tak berpotensi. Dari arah kiri selalu ditiupkan api hasud, iri, dengki, dendam dan lainnya sehingga permusuhan selalu tetap terjadio. Dari arah kanan, syetan meniupkan ide-ide untuk mencari pembenaran agar manusia tidak perlu berzakat, sedekah, haji karena akan mengurangi penghasilan. Demikian beberapa hal yang bisa dilakukan syetan. Namun ada 2 arah yang tidak tidak dijelaskan yaitu dari arah atas dan bawah. Arah atas merupakan simbol bagi seseorang untuk menjalin hubungan vertikalnya dengan sang Khalik Allah swt. Sedangkan dari arah bawah merupakan gambaran manusia yang menyadari kelemahan dirinya, menyadari keberadaan dirinya, menyadari hal-hal baik dan buruk yang bisa dilakukan atau dihindari, sehingga ia tampil sebagai manusia yang tahu dan sadar terhadap apa yang harus diucapkan dan dilakukan.

Demikian beberapa penjelasan yang terkait dengan sifat negatif manusia sekaligus menjadi titik lemahnya yang senantiasa harus diperbaiki oleh kita. Masih banyak tentunya sifat lain yang Allah jelaskan dalam Kitab-Nya. Semuga pengetahuan ini menyadarkan diri untuk selalu memperbaiki kualitas diri. Amin.

0 komentar:

Posting Komentar